Selasa, 30 Juni 2009

Masyarakat pada hakekatnya terbagi menjadi beberapa segmen yang berbeda. Salah satu segmen yang ada dalam masyarakat dan yang paling mudah untuk diide

Dalam beberapa dekade terakhir ini istilah malpraktik cukup terkenal dan banyak dibicarakan masyarakat umum khususnya malpraktik bidang kedokteran dalam transaksi terapeutik antara dokter dan pasien. Jika kita flashback beberapa dekade ke belakang khususnya di Indonesia anggapan banyak orang, dokter adalah profesional yang kurang bisa disentuh dengan hukum atas profesi yang dia lakukan. Hal ini berbeda seratus delapan puluh derajat saat sekarang banyak tuntutan hukum baik perdata, pidana maupun administratif yang diajukan pasien atau keluarga pasien kepada dokter karena kurang puas atas hasil perawatan atau pengobatan.

Yang masih perlu dikaji dan didiskusikan kembali adalah apakah sudah benar dasar penuntutan yang disampaikan kepada dokter atau rumah sakit dengan dasar dokter atau rumah sakit bersangkutan telah melakukan tindakan malpraktik jika kita tinjau dari kaca mata Undang – Undang Hukum Pidana, Hukum Perdata dan Undang – Undang Praktek Kedokteran, KODEKI serta standar profesi dokter dalam menjalankan profesinya.

Transaksi terapeutik dapat dijelaskan sebagai suatu bentuk perjanjian antara pasien dengan penyedia layanan dimana dasar dari perjanjian itu adalah usaha maksimal untuk penyembuhan pasien yang dilakukan dengan cermat dan hati-hati sehingga hubungan hukumnya disebut sebagai perikatan usaha/ikhtiar. Agar dapat berlaku dengan sah, trasaksi tersebut harus memenuhi empat syarat, pertama ada kata sepakat dari para pihak yang mengikatkan diri, kedua kecakapan untuk membuat sesuatu, ketiga mengenai suatu hal atau obyek dan yang keempat karena suatu causa yang sah. Transaksi atau perjanjian menurut hukum dengan transaksi yang berkaitan dengan terapeutik tidaklah sama. Pada hakekatnya transaksi terapeutik terkait dengan norma atau etika yang mengatur perilaku dokter dan oleh karena itu bersifat menjelaskan, merinci ataupun menegaskan berlakunya suatu kode etik yang bertujuan agar dapat memberikan perlindungan bagi dokter maupun pasien. Hubungan antara transaksi terapeutik dengan perlindungan hak pasien dapat dilihat pada Undang-Undang Nomer 29 tahun 2004 tentang praktek kedokteran diantaranya adalah hak mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis yang akan dilakukan, hak meminta penjelasan pendapat dokter, hak mendapatkan pelayanan sesuai kebutuhan medis, hak menolak tindakan medis dan hak untuk mendapatkan rekam medis. Kewajiban pasien dalam menerima pelayanan kedokteran antara lain memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya, mematuhi nasehat atau petunjuk dokter, mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan dan memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterimanya.

Menurut Leenen kewajiban yang harus dilakukan dokter atau dokter gigi dalam memberikan pelayanan kesehatan adalah melaksanakan suatu tindakan sesuai dengan standar profesi medik (SPM) yang pada hakekatnya terdiri dari beberapa unsur diantaranya bekerja dengan teliti, hati-hati dan seksama, sesuai dengan ukuran medik, sesuai dengan kemampuan rata-rata/sebanding dengan dokter dalam kategori keahlian medik yang sama, dalam keadaan yang sebanding dan dengan sarana dan upaya yang sebanding wajar dengan tujuan konkrit dari tindakan medik tersebut.

Perbedaan yang mendasar antara hukum pidana umum dengan hukum pidana medik adalah sebagai berikut hukum pidana umum yang diperhatikan adalah akibat dari peristiwa hukumnya sedangkan hukum pidana medik yang diperhatikan adalah sebabnya. Jika akibat suatu perawatan medis hasil yang didapat tidak sesuai dengan yang diharapkan atau pasien mengalami kerugian maka belum tentu dokter yang merawat telah melakukan kesalahan. Harus diteliti terlebih dahulu apakah dalam melakukan perawatan tersebut dokter telah menerapkan tindakannya sesuai dengan standar profesi yang dibenarkan oleh hukum dan nilai-nilai kode etik profesi sebagaimana yang tertuang dalam KODEKI. Karena menurut penulis ilmu kedokteran/kesehatan merupakan paduan antara ilmu pengetahuan dan seni, 3 dikali 3 tidak harus 9 hal ini disebabkan banyak faktor yang mempengaruhi hasil yang ingin dicapai seperti kondisi tubuh pasien, cara penanganannya, komplikasi dan banyak faktor yang lain termasuk tidak atau tersedianya peralatan kedokteran yang memadai. Sehingga tidak ada 2 kasus yang diselesaikan dengan hasil yang sama.

Malpraktik atau malpractice berasal dari kata ”mal” yang berarti buruk dan ”practice” yang berarti suatu tindakan atau praktik, dengan demikian malpraktek adalah suatu tindakan medis buruk yang dilakukan dokter dalam hubungannya dengan pasien. Menurut Black’s Law Dictionary mendefinisikan malpraktik sebagai “professional misconduct or unreasonable lack of skill” atau “failure of one rendering professional services to exercise that degree of skill and learning commonly applied under all the circumstances in the community by the average prudent reputable member of the profession with the result of injury, loss or damage to the recipient of those services or to those entitled to rely upon them”. Pengertian malpraktik di atas bukanlah monopoli bagi profesi medis, melainkan juga berlaku bagi profesi hukum (misalnya mafia peradilan), akuntan, perbankan, dan lain-lain. Pengertian malpraktik medis menurut World Medical Association (1992) adalah: “medical malpractice involves the physician’s failure to conform to the standard of care for treatment of the patient’s condition, or lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to the patient.”

Selain pengertian diatas definisi lain dari malparaktik adalah setiap kesalahan profesional yang diperbuat oleh dokter pada waktu melakukan pekerjaan profesionalnya, tidak memeriksa, tidak menilai, tidak berbuat atau meninggalkan hal-hal yang diperiksa, dinilai, diperbuat atau dilakukan oleh dokter pada umumnya didalam situasi dan kondisi yang sama (Berkhouwer & Vorsman, 1950), selain itu menurut Hoekema, 1981 malpraktik adalah setiap kesalahan yang diperbuat oleh dokter karena melakukan pekerjaan kedokteran dibawah standar yang sebenarnya secara rata-rata dan masuk akal, dapat dilakukan oleh setiap dokter dalam situasi atau tempat yang sama, dan masih banyak lagi definisi tentang malparaktik yang telah dipublikasikan. Dalam tata hukum indonesia tidak dikenal istilah malpraktik, pada undang-undang No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan disebut sebagai kesalahan atau kelalaian dokter sedangkan dalam undang-undang No. 29 tahun 2004 tentang praktek kedokteran dikatakan sebagai pelanggaran disiplin dokter. Sehingga dari berbagai definisi malpraktik diatas dan dari kandungan hukum yang berlaku di indonesia dapat ditarik kesimpulan bahwa pegangan pokok untuk membuktikan malpraktik yakni dengan adanya kesalahan tindakan profesional yang dilakukan oleh seorang dokter ketika melakukan perawatan medik dan ada pihak lain yang dirugikan atas tindakan tersebut.

Menurut Gunadi, J dapat dibedakan antara resiko pasien dengan kelalaian dokter (negligence) yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pada dokter, resiko yang ditanggung pasien ada tiga macam yaitu :

1. Kecelakaan

2. Resiko tindakan medik (risk of treatment)

3. Kesalahan penilaian (error of judgement)

Masih menurut Gunadi, J masalah hukum sekitar 80% berkisar pada penilaian atau penafsiran. Resiko dalam tindakan medik selalu ada dan jika dokter atau penyedia layanan kesehatan telah melakukan tindakan sesuai dengan standar profesi medik dalam arti bekerja dengan teliti, hati-hati, penuh keseriusan dan juga ada informed consent (persetujuan) dari pasien maka resiko tersebut menjadi tanggungjawab pasien. Dalam undang-undang hukum perdata disana disebutkan dalam hal tuntutan melanggar hukum harus terpenuhi syarat sebagai berikut :

1. Adanya perbuatan (berbuat atau tidak berbuat)

2. Perbuatan itu melanggara hukum

3. Ada kerugian yang ditanggung pasien

4. Ada hubungan kausal antara kerugian dan kesalahan

5. Adanya unsur kesalahan atau kelalaian

Dalam beberapa kasus yang diajukan ke pengadilan masih terdapat kesulitan dalam menentukan telah terjadi malparaktik atau tidak karena dalam tatanan hukum indonesia belum diatur mengenai standar profesi dokter sehingga hakim cenderung berpatokan pada hukum acara konvensional, sedangkan dokter merasa sebagai seorang profesional yang tidak mau disamakan dengan hukuman bagi pelaku kriminal biasa, misalnya : pencurian atau pembunuhan. Sebagai insan yang berkecimpung di bidang asuransi kita berharap pemerintah lebih serius untuk mengatur permasalahan tersebut dengan menerbitkan produk hukum yang mengatur tentang standar profesi.

Tips Menghindari Malpraktik

Untuk menghindari kemungkinan tindakan malpraktik yang dilakukan dokter, ada beberapa hal yang dilakukan pasien. Yang jelas, ia harus aktif. Ini juga untuk menumbuhkan kesadaran pasien atas hak-hak yang dimilikinya saat menghadapi dokter. Apa yang dapat dilakukan pasien, simak saran dari dr. Bahar Azwar, Sp.B.Onk.:

- Jangan menerima mentah-mentah apa yang dikatakan dokter. Jika ada yang tidak Anda mengerti, segeralah bertanya. Dengan bertanya, paling tidak Anda akan tahu alasan dokter memvonis penyakit Anda.

- Jangan menganggap dokter tahu segalanya. Jika dokter terlihat ragu pada diagnosa yang ia buat, segeralah bertanya.

- Usahakan Anda mengerti masalah hukum dan etika yang mengatur hak dan kewajiban pasien dan dokter. Bahan bisa Anda peroleh dari mana saja, sperti buku, majalah, teve, dan lain-lain.

- Cari tahu segala hal tentang dokter dan pengobatan yang ditawarkan. Dengan demikian, Anda tidak akan dirugikan oleh pelayanan dokter. Atau paling tidak, jika merasa dirugikan, Anda dapat menuntut pelayanan yang lebih baik.

- Jangan takut meminta pendapat kedua pada pihak lain, entah itu dokter atau pengobat tradisional. Jika merasa ragu, pindah dokter juga dibolehkan asal Anda tahu apa yang Anda lakukan.


UU Praktik Kedokteran dalam Perspektif Malpraktik Medis

Chrisdiono M Achadiat

Rancangan Undang-Undang Praktik Kedokteran (selanjutnya disebut RUU PK) kini sedang dibahas di DPR dan banyak pihak menaruh harapan besar terhadap perangkat peraturan ini. Agak mengherankan memang, karena ternyata sampai saat ini Indonesia adalah satu dari sedikit negara yang belum memiliki UU untuk mengatur praktik kedokteran, sedangkan negara yang tergolong "terbelakang" seperti Vietnam atau Myanmar telah memiliki UU seperti itu sejak lama!

Meskipun terkesan agak terlambat, apabila RUU ini bisa lolos nantinya pastilah akan merupakan "terobosan" yang sangat bermakna bagi praktik kedokteran; apalagi belakangan ini ramai diberitakan dalam media cetak maupun elektronik mengenai pelbagai kasus berkaitan dengan perselisihan antara dokter dan pasiennya.

Bagaimana sebenarnya isi dari RUU itu, yang kini menjadi polemik hangat di kalangan profesi kedokteran maupun masyarakat umum?

Latar belakang, filosofi, dan tujuan

Praktik kedokteran dalam pengertian luas pada hakikatnya adalah perwujudan idealisme dan spirit pengabdian seorang dokter, sebagaimana yang diikrarkan dalam Sumpah Dokter dan Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI). Dalam perkembangannya kemudian, seluruh aspek kehidupan di dunia ini mengalami perubahan paradigma secara bermakna, termasuk dalam profesi kedokteran, dengan akibat terjadi pula perubahan orientasi dan motivasi pengabdian tersebut pada diri sebagian dokter. Sebagai dampak perubahan yang semakin global, individualistik, materialistik, dan hedonistik tersebut, maka perilaku dan sikap tindak profesional di sebagian kalangan dokter juga berubah.

Masyarakat kemudian juga semakin memandang negatif profesi kedokteran karena melihat dan menyaksikan maraknya praktik-praktik kedokteran yang semakin jauh dari nilai-nilai luhur Sumpah Dokter dan KODEKI. Masyarakat atau pasien (yang dalam terminologi bisnis kini disebut konsumen, juga dalam konteks kontrak terapeutik!) merasa perlu "melindungi diri" terhadap perilaku hedonistik dan unethical para dokter itu.

Materi Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mencerminkan kekhawatiran tersebut dan profesi kedokteran adalah salah satu bidang yang tercakup di dalam UU No 8/1999. Bahkan ditegaskan bahwa kontrak terapeutik antara dokter dan pasien adalah seperti halnya kontrak-kontrak jasa atau dagang lainnya.

Setuju atau tidak, suka atau tidak suka, tetapi jelas bahwa bidang kedokteran (yakni kontrak terapeutik) sudah termasuk dalam cakupan UU itu, sehingga pasien kemudian disebut sebagai konsumen pelayanan kesehatan (health consumers) dan dokter atau rumah sakit sebagai produsen jasa pelayanan kesehatan (health producers).

Karena itu, kalangan profesi kedokteran yang merasa sangat "terancam" dan keberatan dengan UU Perlindungan Konsumen itu kemudian (secara kebetulan?) mengajukan RUU PK ini. Dengan demikian, tak terhindarkan adanya kesan kuat bahwa RUU PK adalah reaksi belaka terhadap UU Perlindungan Konsumen. Akan tetapi, benarkah RUU PK tersebut disusun sebagai reaksi terhadap UU No 8/1999 itu sebagaimana disinyalir banyak kalangan? Benarkah RUU PK itu semacam "payung perlindungan" dokter atas maraknya tuntutan masyarakat/pasien terhadap para praktisi kedokteran?

Disebutkan dalam RUU PK bahwa tujuan pengaturan, pengawasan, dan pembinaan penyelenggaraan praktik kedokteran melalui UU ialah: (a) Memberikan perlindungan kepada penderita atau masyarakat penerima jasa pelayanan kesehatan; (b) Mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan oleh tenaga medis (domestik atau asing); dan (c) Memberikan kepastian hukum kepada penerima jasa pelayanan kesehatan (pasien) dan penyelenggara pelayanan kesehatan (dokter dan dokter gigi).

Jadi, sangat jelas bahwa RUU PK ternyata bukan hanya sekadar reaksi terhadap adanya UU No 8/1999, melainkan lebih jauh dari itu adalah mengatur dan menyeimbangkan hak kewajiban dokter dan pasien dalam konteks praktik kedokteran. Bukankah selama ini selalu menjadi polemik hangat, siapa sebenarnya secara hukum memiliki kedudukan lebih tinggi/kuat? Dokter atau pasien/masyarakat?

Kalangan dokter berpendapat pihak pasien terlalu/sangat kuat kedudukannya sehingga dapat dengan begitu saja menuntut/menggugat dokter untuk suatu hasil pengobatan negatif atau tidak memenuhi harapan pasien. Padahal, dampak dari tuntutan itu terkadang sudah merupakan pembunuhan karakter atau character assassination terhadap dokter yang dituntut/digugat; sedangkan pada kenyataannya tidak selalu hasil negatif itu merupakan kesalahan atau kelalaian dokter yang merawat.

Sering kali, bahkan pihak pasien (melalui pengacaranya) telah memublikasikan kasus yang digugatnya sebagai malpraktik, padahal hal tersebut dapat dikatakan sebagai pelanggaran atas asas praduga tak bersalah, mengingat "stempel" malpraktik harus ditetapkan melalui proses peradilan!

Sebaliknya, pihak pasien berpendapat bahwa dokter-dokter itulah yang "kebal hukum" dan selalu berlindung di balik etika kedokteran agar terlepas dari tanggung jawab yang seharusnya dipikul. Image negatif terhadap profesi kedokteran ini semakin mengental ketika pelbagai pengaduan oleh masyarakat kepada organisasi profesi (yakni Ikatan Dokter Indonesia/IDI) sangat lamban ditanggapi, kalau tidak mau disebut IDI bahkan sering kali kurang peduli dengan pengaduan-pengaduan tersebut!

Keadaan itu diikuti dan diperparah lagi dengan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap IDI (baca: profesi kedokteran) akibat lambannya respons (untuk tidak menyebut no response!) terhadap pelanggaran-pelanggaran tadi. Bahkan yang paling "kasatmata" atau terang-terangan sekalipun, IDI sepertinya bersikap sangat pasif! IDI terkesan selalu nongkrong di kantor menunggu pengaduan dan bahkan lebih konyol lagi, tampaknya IDI berpegang pada prinsip "tidak ada pengaduan berarti semuanya baik-baik saja!"

Pelbagai pelanggaran etika dan hukum yang begitu jelas, transparan, kasatmata, dan telah berjalan bertahun-tahun, dilakukan oleh beberapa kalangan dokter (dan juga nondokter, tetapi menggunakan atribut maupun idiom-idiom dokter/kedokteran) tanpa adanya teguran atau peringatan dari siapa pun (termasuk IDI), sampai detik ini pun masih berlangsung dengan aman-aman saja! IDI terkesan sangat "berpihak" kepada anggota-anggotanya (baca: para dokter!), nyaris secara membabi buta! Tidak jarang masyarakat menjadi jengkel dan terheran-heran ketika pengaduan-pengaduan pelanggaran etika kedokteran oleh dokter diputuskan "salah alamat" oleh IDI/MKEK! Dengan begitu, pelanggaran-pelanggaran etika (dan juga hukum!) cenderung berlanjut terus!

Moralitas profesi

Walaupun yang mengajukan RUU PK adalah kalangan dokter dan profesional medis, seyogianya tetap tidak meninggalkan nilai-nilai moralitas dan etika dari profesi ini, yakni kepentingan masyarakat/pasien adalah di atas segala-galanya!

Namun, klausul "kepentingan pasien di atas segala-galanya" itu juga harus tetap dibaca dalam konteks keadilan dan keseimbangan dengan hak-hak asasi sang dokter! Jadi, kalau dokter melanggar hukum, ia harus diproses secara hukum dan (jika bersalah!) dikenai sanksi hukum, sedangkan untuk pelanggaran etika kedokteran, sang dokter dikenai sanksi etika.

Masyarakat juga harus disadarkan bahwa sanksi maksimal untuk suatu pelanggaran etika adalah dikeluarkan dari komunitas penganut etika profesi, tidak ada sanksi berupa kurungan/penjara, denda atau ganti rugi bagi suatu pelanggaran etika! Bahkan, dokter yang tak terbukti melanggar atau bersalah harus dipulihkan nama baiknya!

Dua substansi utama dalam RUU PK ialah mengenai Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dan Peradilan Disiplin Profesi Tenaga Medis (PDPTM). Sedikit keheranan penulis adalah mengapa digunakan istilah Konsil (dari kosakata bahasa Inggris council), padahal kita telah memiliki terjemahannya, yakni Dewan. Dalam konteks itu pula, agaknya akan lebih tetap disebut sebagai Dewan Kedokteran Indonesia. Sebagai perbandingan, badan PBB Security Council tetap diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Dewan Keamanan, bukan Konsil Keamanan!

Dalam RUU PK disebutkan bahwa KKI adalah suatu lembaga negara nonstruktural dan bersifat independen, "posisi"-nya di atas semua organisasi profesi kedokteran dan kedokteran gigi, serta semua instansi pemerintah dan swasta yang terkait dengan pelayanan kesehatan. KKI bekerja berlandaskan UU dan berfungsi mengatur, membina, dan menetapkan tenaga medis (dokter dan dokter gigi) untuk menjalankan praktik profesinya dalam kerangka peningkatan mutu pelayanan kesehatan secara keseluruhan. KKI diangkat dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

Rincian tugas KKI adalah (Pasal 6 RUU PK): (a) Melaksanakan registrasi terhadap semua tenaga medis; (b) Menetapkan standar pendidikan bagi tenaga medis; (c) Menyaring, menapis dan merumuskan arah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) medis dalam praktik kedokteran; dan (d) Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap semua penyelenggaraan praktik kedokteran.

Kewenangan dari KKI dalam Pasal 8 sebenarnya lebih bersifat "internal", yakni sepenuhnya ditujukan kepada para penyelenggara pelayanan kesehatan (dokter dan dokter gigi). Sebagai contoh, salah satu kewenangan KKI adalah menyetujui atau menolak permohonan registrasi tenaga medis (Ayat 1), menerbitkan atau mencabut registrasi tenaga medis (Ayat 2). Selengkapnya kewenangan KKI ini dapat dilihat pada Boks 1.

Kemudian, setiap tenaga medis yang berpraktik harus memiliki Sertifikat Registrasi Tenaga Medis (SRTM) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 19. Mereka yang tidak memiliki SRTM (dan Surat Izin Praktik atau SIP) dalam berpraktik diancam dengan sanksi pidana penjara selama lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp 150 juta (Pasal 170). Memang banyak pihak yang mempertanyakan mengapa sanksi untuk ini sangat "ringan" mengingat denda sedemikian ini dapat "dilunasi" oleh kalangan dokter tertentu hanya dengan sebulan berpraktik!

Substansi kedua yang lebih dominan dalam RUU ini ialah pasal-pasal tentang peradilan profesi, baik yang berupa Pengadilan Disiplin Profesi Tenaga Medis (PDPTM) maupun Pengadilan Tinggi Disiplin Profesi Tenaga Medis (PTDPTM), mencakup 129 pasal dari keseluruhan 178 pasal RUU ini (72,5 persen). Kedua lembaga peradilan ini pada akhirnya tetap bermuara pada Mahkamah Agung (MA). Hal baru yang menarik dalam RUU PK ialah ditunjuknya hakim-hakim dalam PDPTM maupun PTDPTM yang terdiri atas para ahli hukum dan juga tenaga medis (yang terakhir ini disebut sebagai hakim ad hoc).

Terobosan hakim ad hoc ini sangat mengesankan, mengingat selama ini pelbagai keputusan hukum dalam bidang kedokteran acap kali dilakukan oleh para hakim yang murni ahli hukum dan dengan demikian sering pula tidak dapat memenuhi rasa keadilan (khususnya bagi para dokter). Banyak nuansa profesi kedokteran yang hanya dapat dirasakan, dijelaskan, dan dihayati oleh orang-orang yang paham dengan profesi ini.

Hakikat perikatan/perjanjian dalam kontrak terapeutik misalnya adalah berdasarkan usaha yang sebaik-baiknya (inspanningverbintenis) dan bukan berdasarkan hasil semata (resultaatverbintenis)! Jadi, yang menjadi fokus dalam perkara perselisihan hukum kedokteran bukanlah sembuh atau tidaknya pasien (baca: hasil!), melainkan apakah dokter itu sudah menjalankan profesinya dengan sebaik-baiknya (ukuran tertinggi)! Para hakim yang memutuskan perkara perselisihan hukum kedokteran di negara-negara maju, misalnya, biasanya telah mendapat pengetahuan tambahan mengenai etika dan hukum kedokteran mengingat sifat dan hakikatnya yang sangat khas dan "agak berbeda" dengan hukum pada umumnya.

Mengenai gugatan atau tuntutan hukum terhadap para tenaga medis, timbul pertanyaan mengenai siapa yang dapat mengajukan tuntutan/gugatan atas kerugian yang ditimbulkan oleh praktik tenaga medis? Disebutkan dalam RUU PK bahwa "Setiap orang atau badan yang merasa dirugikan oleh tindakan tenaga medis yang menjalankan praktiknya, dapat mengajukan tuntutan secara tertulis kepada PDPTM" (Pasal 87).

Masih belum cukup jelas, apakah organisasi profesi kedokteran (seperti IDI) juga bisa mengajukan tuntutan/gugatan terhadap anggotanya (baca: dokter!) yang melanggar UU ini? Jika hal ini bisa terwujud, akan merupakan terobosan bermakna dalam rangka pengawasan dan pembinaan oleh IDI terhadap perilaku para dokter atau tenaga medis lainnya. Hal ini mengingat selama ini IDI terkesan hanya sebagai "macan ompong" bila berhadapan dengan pelanggaran-pelanggaran KODEKI maupun pelanggaran hukum.

Klausul ini juga masih menyisakan sedikit pertanyaan, bagaimana dengan dokter yang bekerja di suatu corporate atau rumah sakit? Apakah dokter itu bisa dituntut berdasarkan pasal ini jika ia melakukan kesalahan ketika sedang bekerja di corporate tersebut dan bukan di tempatnya berpraktik?

Masalah mendasar yang selama ini terjadi justru karena IDI tidak pernah merasa terusik atau dirugikan kepentingannya oleh adanya pelbagai pelanggaran oleh anggotanya; sehingga IDI terkesan sangat tidak peka dan tidak peduli, padahal yang terjadi adalah pelanggaran etika kedokteran! Kalaupun ada kepedulian itu, kemudian IDI masih juga terjebak dalam paradigma "konyol" bahwa IDI harus membela (kalau perlu secara all out!) para anggotanya! Sadar atau tidak, sikap IDI yang seperti inilah yang "menjengkelkan" masyarakat dan sekaligus menghilangkan kepercayaan kepada IDI sebagai organisasi kaum profesional/dokter!

Dalam pandangan penulis, seharusnyalah IDI membina, mengawasi, dan kalau perlu menegur atau memperingatkan para anggotanya agar selalu berperilaku dan bertindak dengan berpedoman pada KODEKI dan Sumpah Dokter sebagai landasan moral dan perilaku profesional. Jika teguran atau peringatan itu tidak digubris, IDI dan organisasi profesi medik lain seyogianya diberi kewenangan, keberdayaan, dan kesempatan untuk menuntut/menggugat tenaga medis/dokter tersebut (dan kini hal itu dimungkinkan oleh RUU PK?), baik yang anggota maupun bukan anggota IDI.

Hakikat IDI sebagai moral and ethical guard profesi kedokteran harus selalu menjadi acuan dalam kiprahnya "mengawal" profesi yang (konon) luhur dan mulia ini! Penulis berpendapat bahwa "gigi taring" IDI untuk mencabut rekomendasi izin praktik yang diterbitkan oleh Dinas Kesehatan selama ini terasa sangat tumpul dan tidak efisien, apalagi sekarang banyak dokter yang bukan anggota IDI!

Selanjutnya, Pasal 87 juga menguraikan alasan-alasan bagi para pihak agar dapat mengajukan gugatan/tuntutan (selengkapnya dapat dilihat dalam Boks 2). Pasal 89 menyebutkan "Pengaduan hanya dapat diajukan dalam tenggang waktu paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak dilakukannya tindakan medis tersebut". Sebagai alat bukti dalam mengajukan tuntutan tersebut, Pasal 133 menyebutkan: (a) surat-surat atau tulisan (persetujuan tindakan medis, catatan medis dan bukti-bukti tulisan lainnya); (b) keterangan ahli; (c) keterangan saksi; (d) pengakuan para pihak; dan (e) pengetahuan hakim.

Secara keseluruhan, semua kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan pelayanan kesehatan tersebut diawasi dan dibina oleh suatu badan yang dibentuk khusus untuk keperluan itu, terdiri atas Menteri Kesehatan (dan/atau aparat di bawahnya) dan organisasi profesi terkait (pasal 169). Kegiatan badan ini diarahkan kepada dua hal penting, yakni (1) mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan, serta (2) melindungi masyarakat (baca: pasien) dari tindakan yang merugikan oleh tenaga medis. Dalam konteks praktik kedokteran, maka butir kedua ini menepis anggapan bahwa UU ini hanya membela kepentingan para tenaga medis, justru sekarang terlihat bahwa masyarakat sangat terlindungi!

Siapakah yang dapat dipidana menurut RUU PK ini? Pasal 170: "Barangsiapa melakukan praktik kedokteran (a) Tanpa memiliki SRTM (Sertifikat Registrasi Tenaga Medis) dan SIP (Surat Izin Praktik); (b) Tidak memasang papan praktik kedokteran; (c) Tidak mengikuti SPM (Standar Pelayanan Medis); (d) Memberikan janji terhadap keberhasilan suatu tindakan medis; dan (e) Tidak melaksanakan atau memelihara CM (Catatan Medis); dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp. 150.000.000,- (seratus limapuluh juta rupiah)".

Secara konotatif, kata "barangsiapa" menunjukkan individu (pola yang sama juga berlaku dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP!) dan dengan demikian merujuk pada orang per orang (baca: dokter!). Penulis berpandangan bahwa pelanggaran yang dilakukan (misalnya) oleh dan dalam suatu corporate seperti rumah sakit tidak termasuk dalam pengertian Pasal 170 RUU PK itu, tetapi individu dokternya (jika ia menjadi pelakunya!) bisa dituntut/digugat sebagai tenaga medis.

Memang, rasanya untuk hal-hal seperti itu (berkaitan dengan soal corporate dalam bidang pelayanan kesehatan) perlu disusun peraturan perundang-undangannya terpisah dari UU Praktik Kedokteran. Sekali lagi terlihat bahwa RUU ini sama sekali bukanlah reaksi belaka atas UU Perlindungan Konsumen karena pihak pasien tidak disebut-sebut (eksplisit atau implisit) sebagai pihak yang dapat dipidana menurut RUU PK ini!

Sudah siap?

Setelah membahas RUU PK dalam garis besarnya, timbul pertanyaan mengenai kesiapan masyarakat maupun kalangan dokter/tenaga medis. Harus diakui, bahkan di kalangan medis pun sosialisasi RUU PK ini terkesan kurang serius dilakukan, apalagi untuk "masyarakat awam"! Seorang dokter bedah senior menyatakan bahwa kalangan dokter dan dokter gigi telah siap secara formal karena memang tak ada pilihan lain (mau atau tidak mau, setuju atau tidak setuju, suka atau tidak suka!), tetapi secara kultural dan moral masih tetap menjadi pertanyaan besar!

Harus diakui, selama ini dokter dan tenaga medis lain sudah sangat terbiasa dengan iklim di mana praktik-praktik yang tidak memiliki acuan etika, moral, dan hukum dapat dijalankan tanpa ada peringatan, teguran, apalagi sanksi dari siapa pun (termasuk IDI!). Acap kali pula bentuk-bentuk praktik yang diketahui (oleh kalangan awam sekalipun!) sebagai pelanggaran etika maupun hukum toh dapat berjalan lancar tanpa pernah ada tindakan/teguran/peringatan atau sanksi apa pun dari organisasi profesi (seperti IDI), aparat yang berwenang (Departemen Kesehatan atau Dinas Kesehatan misalnya) maupun aparat penegak hukum lainnya.

Contoh-contoh itu misalnya dokter yang melakukan aborsi tanpa indikasi medis. Juga seseorang yang mencantumkan gelar dokter (bahkan dokter ahli, walaupun dokter ahli penyakit dalam tenaga chi kung!), tetapi ia tidak pernah kuliah di FK dan kemudian menyelenggarakan praktik kedokteran dengan metode sangat "aneh dan ajaib" yang tak dikenal dalam dunia kedokteran lazimnya.

Demikian pula dengan dokter umum (artinya tak pernah mengikuti pendidikan spesialisasi dan dengan demikian tidak memiliki ijazah maupun brevet sebagai spesialis!) yang bertindak dan berlaku sebagaimana dokter spesialis, termasuk melakukan pembedahan-pembedahan yang sama sekali bukan kewenangannya ("Perlukah MKEK ’Bersidang’ Juga?", Kompas, 24/7/2002). Apakah UU PK yang akan diberlakukan nanti juga akan mencakup kasus-kasus seperti itu, wallahualam bisawab, karena sampai detik ini pun pelanggaran-pelanggaran seperti itu masih tetap marak berlangsung, walaupun telah berjalan bertahun-tahun secara terang-terangan!

Di pihak lain, masyarakat juga tampaknya belum siap terhadap suatu prosedur hukum dengan adanya lembaga peradilan seperti PDPTM dan PTDPTM, di mana nanti hakim-hakimnya termasuk yang ad hoc (yakni tenaga medis!). Selama ini, masyarakat (dan media cetak/elektronik) sudah terbiasa dengan street justice dan mengabaikan asas praduga tak bersalah (presumption of innocent), yakni seringnya menyebut malpraktik untuk kasus yang belum diputuskan oleh pengadilan, tanpa mempertimbangkan dampak yang timbul dari publikasi seperti itu. Seorang dokter yang belum pernah menjalani proses peradilan (dan dengan demikian belum terbukti bersalah atau tidak) terkadang telah mendapat "vonis" malpraktik dan sekaligus memperoleh "hukuman" berupa character assassination!

Nah, hal-hal itulah yang sepertinya akan diupayakan untuk diakomodasi oleh RUU PK! Baik tenaga medis maupun masyarakat/pasien diharapkan dan dimungkinkan dapat memenuhi hak dan kewajiban masing-masing secara harmonis, jujur, fair, adil, dan seimbang.

Rangkuman

Para penyelenggara negara sebenarnya bisa belajar dari pengalaman keberadaan UU No 23/1992 tentang Kesehatan (atau lebih dikenal sebagai UU Kesehatan) yang sampai detik ini belum terlaksana dengan utuh (dalam usianya yang 12 tahun), karena lambannya pembentukan dan pengesahan peraturan pemerintah (PP) dan keputusan presiden (keppres) yang diperlukan sebagai implementasi UU tersebut.

Dari sekitar 50-an PP dan keppres yang dibutuhkan, baru sekitar enam atau tujuh yang telah rampung. Hingga sekarang, praktis UU No 23/1992 itu tidak bisa dilaksanakan alias macet karena peranti dan perangkat pendukungnya ternyata tidak pernah siap! Belakangan, malah sudah semakin keras suara-suara yang menghendaki UU No 23/1992 ini supaya diganti atau diamandemen!

Memang wajar sekali jika pelbagai peraturan atau UU hanya akan menjadi bahan lelucon, tertawaan, dan gunjingan belaka apabila tidak dilaksanakan dan diikuti dengan law enforcement secara tegas dan lugas. Semua orang sudah mafhum bahwa kelemahan utama bangsa ini adalah dalam melaksanakan dan mengimplementasikan suatu peraturan! Bangsa ini sangat unggul dalam membuat peraturan atau UU yang bagus-bagus, tetapi menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari adalah soal lain lagi!

Penulis sangat menaruh harapan atas RUU PK ini dan berharap dapat segera disahkan oleh DPR menjadi UU. Paling sedikit, bagian yang mengandung substansi KKI atau Konsil Kedokteran Indonesia tersebut ditetapkan dulu, sedangkan bagian yang mengandung substansi lain dapat dikaji lebih mendalam dulu sebelum disahkan. Tak mungkin bagi siapa pun untuk membantah fakta bahwa rambu-rambu etika saja ternyata tidak lagi mampu mengendalikan perilaku para dokter sehingga diperlukan perangkat yang lebih tegas dan "represif", yaitu UU mengenai Praktik Kedokteran!

Patut pula kita renungkan sebuah pepatah Cina kuno berikut ini: the more laws you make, the more criminals are created! Benarkah demikian? Dalam pandangan penulis, pepatah itu hanya akan menjadi benar adanya jika suatu peraturan atau UU tidak dapat, tidak mampu, atau tidak mau dilaksanakan/diimplementasikan secara konsisten-konsekuen alias "mandul"!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar