Selasa, 30 Juni 2009

Institusi sosial, jaringan sosial dan dukungan sosial PERS PANCASILA: DARI KEPANCASILAAN SISTEM SOSIAL∗

Bagaimana kita melihat kehidupan pers? Institusi pers tidak dapat dilepaskan dari
institusi sosial yang memberi tempat dan menjamin hak warga masyarakat untuk
menyatakan pikiran dan pendapatnya, dan dengan sendirinya juga hak untuk memperoleh
pikiran dan pendapat dari pihak lain. Institusi pers merupakan bagian dari institusi sosial
yang lebih luas, berupa kegiatan intelektual dalam masyarakat. Dengan begitu pers hadir
karena masyarakat memang memerlukan dan menyediakan mekanisme bagi forum alam
pikiran dan masalah sosial.
Tetapi selain itu, sering pers dilihat sebagai suatu institusi yang memiliki peranan strategis dalam masyarakat. Dalam peranannya ini pers dituntut untuk menjalankan fungsi sosial. Tentunya tidak dilupakan bahwa pers hadir melalui informasinya, dan karenanya untuk melihat fungsi yang diembannya, tidaklah langsung di dalam masyarakat. Fungsi dan peranan pers hanya akan berlangsung melalui efek informasi ini dalam dunia alam pikiran anggota masyarakat. Sejauh mana efek yang bersifat individual signifikan terhadap perubahan masyarakat, hanya dapat ditunggu sampai timbul tindakantindakan yang berpola dalam masyarakat.
Penyajian berita kriminal yang tinggi misalnya, mungkin saja mempengaruhi alam
pikiran individu khalayak pembaca. Kalau efek individual ini memunculkan tindakantindakan
berpola sampai kriminalitas menjadi fenomena dominan dalam masyarakat, maka
pers pun dapat disebut berperan.
Landasan semacam ini kiranya melahirkan institusi pers yang difungsikan sebagai alat perjuangan. Sebagai alat perjuangan pada masa kolonial, keberadaan pers nasional dimaksudkan memberi pendidikan kepada khalayak pembacanya agar memiliki kesadaran nasional. Dari sini diharapkan akan terbentuk suatu masyarakat yany menggunakan paradigma baru, dengan orientasi nasional, yang vis-a-vis dengan sistem kolonial.
sejauh mana pers nasional pada masa kolonial itu membentuk kesadaran nasional pada masyarakat Hindia Belanda, agaknya hanya akan menjadi kesimpulan spekulatif. Sulit untuk menunjukkan mana yang lebih memberikan kontribusi, apakah
pers nasional ataukah rapat-rapat umum yang diadakan oleh tokoh-tokoh perjuangan
yang memiliki kekuatan retoris. Hubungan pimpinan perjuangan dengan massa pada
dasarnya terbangun melalui media sosial, bukan melalui media pers.
Keterbatasan oplah ditambah jumlah khalayak yang melek huruf yang terbatas,
boleh dicatat sebagai faktor betapa pers nasional hanya menjadi bacaan sekelompok elit di
kota-kota. Jangankan di masa Hindia Belanda, pada masa Orde Baru yang relatif telah
mengentaskan banyak penduduk sehingga bebas buta huruf, keberadaan media pers untuk
tujuan mendidik seperti koran masuk desa, harus diimbangi dengan forum media seperti
kelompok pembaca.
***
Asumsi yang menempatkan daya pengaruh informasi ini menyebabkan setiap
penguasa negara berusaha mengendalikan media pers. Ini lebih terasa pada awal abad 20,
setelah redanya penentangan fisik melalui pemberontakan kalangan bangsawan (raja-raja
di luar Jawa, Pangeran-pangeran di Jawa) dan petani, pemerintah Hindia Belanda
menghadapi penentangan secara intelektual. Sebagai hasil samping politik etis, bertumbuh
kalangan pribumi terdidik secara modern di Hindia Belanda.
Karenanya pada abad 20, gerakan penentangan umumnya dilakukan oleh kalangan
intelektual modern, dan format gerakannya dengan sendirinya menggunakan perangkat
modern, seperti partai politik dan pers. Tekanan penguasa kolonial berbeda pula formatnya,
tidak lagi bertumpu kepada marsose, tetapi melalui pengendalian polisional sipil.
Disini sangat berperan polisi yang menjalankan fungsi intel politik.
Pada puncak tekanan penjajahan di abad 20, birokrasi negara menjalankan
ketentuan-ketentuan hukum yang semakin keras dan telanjang, bahkan ahli hukum Belanda
sendiri tidak dapat menerimanya. Di antaranya adalah kekuasaan Gubernur Jenderal untuk
menggunakan hak eksorbitan (exorbitante recht), dan pelarangan terbit koran atau yang
populer disebut sebagai Persbreidel Ordonnantie. Kedua kewenangan yang bersifat
preventif ini banyak mengambil korban para pejuang nasional yang dibuang ke Digul dan
daerah-daerah lain, serta koran-koran yang berhenti terbit.
Selain itu tindakan represif juga dijalankan pula dengan menerapkan ketentuan
yang terdapat dalam Hukum Pidana terutama pasal-pasal yang biasa disebut haatzaai
artikelen yang disebut sebagai pasal-pasal "karet", karena sangat longgar dalam penginterpretasiannya.
Pembuktian hukum untuk pasal pidana ini tidak melalui pengujian
materiel atas perbuatan pelaku maupun efek empirisnya, tetapi melalui ucapan atau tulisan
yang diinterpretasikan secara semantis oleh penuntut yang mewakili kekuasaan negara.
Penginterpretasian atas dasar kekuasaan negara ini terus-menerus berhadapan dengan
upaya membangun otonomi lembaga peradilan di Hindia Belanda.
Ketentuan haatzaai artikelen sebagai produk hukum kolonial, tidak terdapat dalam
hukum pidana Belanda yang menjadi acuan dari hukum pidana Hindia Belanda. Haaatzaai
artikelen masih dipertahankan dalam hukum pidana RI. Kendati sudah merdeka, masih
menggunakan ketentuan kolonial, karenanya kehidupan pers di Indonesia masih berada
dalam setting hukum kolonial.
Penerapan hukum ini terhadap penyampaian informasi, dapat dijadikan indikator
sejauh mana kehidupan pers berhadapan dengan penguasa negara. Dengan mencatat
penerapan hukum ini terhadap wartawan/pers khususnya dan intelektual umumnya, dapat
dilihat karakteristik dari format kehidupan pers dan kebebasan menyatakan pendapat,
misalnya dengan membandingkan secara empiris frekuensi pada masa Hindia Belanda,
masa perang kemerdekaan, masa liberal, masa Orde Lama, dan era Orde Baru sekarang.
Catatan sejarah tentang tekanan penguasa negara terhadap wartawan dan
intelektual, menggambarkan perjalanan institusi pers dan forum intelektual di Indonesia.
Pada masa belakangan ini penerapan haatzaai artikelen menunjukkan frekuensi lebih tinggi
dibandingkan dengan era sebelumnya. Karenanya sulit membayangkan bahwa pers Pancasila itu semakin menemukan formatnya. Keberadaan pers Indonesia sering dibicarakan secara normatif. Artinya pers Indonesia harus menjalankan fungsi dan peranannya sebagai pers Pancasila, sesuai dengan tuntutan normatif pihak lain. Berkaitan dengan pers Pancasila, tuntutan normatif itu pada dasarnya bersifat politis, yaitu birokrasi kekuasaan negara yang menggariskan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh institusi pers.
Tuntutan normatif ini terjadi dalam sistem berdasarkan korporatisme negara yang menjadikan setiap institusi kemasyarakatan tidak boleh memiliki otonomi. Institusi pers, sebagaimana institusi sosial lainnya seperti asosiasi profesi, partai politik, bahkan lembaga keagamaan dan ekonomi, terkooptasi oleh birokrasi negara, dan hanya boleh menjalankan fungsi imperatif yang berasal dari birokrasi negara.
Dalam negara korporatis, keberhasilan aparat birokrasi dilihat seberapa luas institusi sosial yang berada di bawah kendalinya. Tetapi upaya untuk mengkooptasi institusi kemsyarakatan ini biasanya sulit dijalankan terhadap institusi ekonomi, terutama dalam era global sekarang. Institusi ekonomi yang memi-liki jaringan global pada dasarnya tidak terikat kepada satu negara, karenanya kekuasaan birokrasi negara tertentu, sulit untuk
mengkooptasinya.
Institusi pers sebenarnya berwajah ganda, yaitu sisi politik dan ekonomi. Sebagai
institusi politik, informasi pers dinilai dalam ukuran normatif secara politis. Untuk
mewujudkan fungsi dan peranannya semacam ini, negara menciptakan regulasi, mulai dari
ijin terbit atau usaha penerbitan, sampai haatzaai artikelen.
Sebagai institusi ekonomi, pers dapat menjalankan fungsi dan peranannya
sepenuhnya menggunakan norma ekonomi. Dengan formula industri, yaitu informasi
sebagai produk yang dipasarkan sesuai dengan kecenderungan sosiografis dan psikografis
dari konsumen. Massa dilihat sebagai konsumen, karenanya keberadaan media bertolak
dari azas komodifikasi pers.
Di antara kedua fungsi politik dan ekonomi yang bersifat imperatif, sering pula
institusi pers dituntut sebagai institusi budaya. Sebagaimana institusi budaya lainnya,
seperti lembaga agama dan sekolah, pers dituntut untuk juga mendidik masyarakat,
membangun budi pekerti dan sebagainya. Fungsi imperatif semacam ini hanya bersifat
moral, sangat berbeda kekuatannya dibanding dengan fungsi imperatif politis dan ekonomis yang bersifat empiris. Tidak ada konsekuensi apapun jika pers tidak memenuhi
tuntutan ini, berbeda dengan tekanan imperatif politik (ijin terbit dicabut, wartawan dikenai haatzaai artikelen), atau tekanan ekonomi (koran tidak laku).
Demikianlah, dalam melihat keberadaan pers Pancasila agaknya lebih tepat menumpukan perhatian kepada faktor-faktor imperatif yang melingkupinya. Tidak mungkin bertolak dari nilai normatif yang hanya dijalankan oleh institusi pers sendiri. Dengan kata lain, pers Pancasila hanya bisa dilihat dari inter-relasi pers dengan institusi lain, sebab format institusi pers pada dasarnya dibangun oleh faktor-faktor imperatif dari institusi lain.
Jika seluruh institusi kemasyarakatan (birokrasi negara, partai politik, intitusi ekonomi, institusi keagamaan, dsb) dalam sistem kenegaraan sudah berjalan sesuai dengan Pancasila, percayalah, pers Pancasila otomatis akan terwujud. Pers hanyalah cermin yang memantulkan bayangan sesuai di luar dirinya.


DUKUNGAN SOSIAL
Definisi Dukungan Sosial

Terdapat banyak definisi tentang dukungan sosial yang dikemukakan oleh para ahli. Sheridan dan Radmacher menekankan pengertian dukungan sosial sebagai sumber daya yang disediakan lewat interaksi dengan orang lain. “ Social support is the resources provided to us through our interaction with other people ”. (Sheridan dan Radmacher, 1992).

Pendapat lain dikemukakan oleh siegel yang menyatakan bahwa dukungan sosial adalah informasi dari orang lain bahwa ia dicintai dan diperhatikan, memiliki harga diri dan dihargai, serta merupakan bagian dari jaringan komunikasi dan kewajiban bersama. “ Social support is information from others that one is loved and cared for, esteemed and valued, and part of a network of communication and mutual obligation “ (Siegel dalam Taylor, 1999).

Dari beberapa definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa dukungan sosial merupakan ketersediaan sumber daya yang memberikan kenyamanan fisik dan psikologis yang didapat lewat pengetahuan bahwa individu tersebut dicintai, diperhatikan, dihargai oleh orang lain dan ia juga merupakan anggota dalam suatu kelompok yang berdasarkan kepentingan bersama.

Sumber Dukungan Sosial

Dari definisi diatas dapat dilihat dengan jelas bahwa sumber dari dukungan sosial ini adalah orang lain yang akan berinteraksi dengan individu sehingga individu tersebut dapat merasakan kenyamanan secara fisik dan psikologis. Orang lain ini terdiri dari pasangan hidup, orang tua, saudara, anak, kerabat, teman, rekan kerja, staf medis serta anggota dalam kelompok kemasyarakatan.

Bentuk Dukungan

Sheridan dan Radmacher (1992), sarafino (1998) serta Taylor (1999) membagi dukungan sosial kedalam lima bentuk. Yaitu :

1. Dukungan instrumental (tangible assisstance)

Bentuk dukungan ini merupakan penyediaan materi yang dapat memberikan pertolongan langsung seperti pinjaman uang, pemberian barang, makanan serta pelayanan. Bentuk dukungan ini dapat mengurangi stress karena individu dapat langsung memecahkan masalahnya yang berhubungan dengan materi. Dukungan instumental sangat diperlukan terutama dalam mengatasi masalah dengan lebih mudah.


2. Dukungan informasional

Bentuk dukungan ini melibatkan pemberian informasi, saran atau umpan balik tentang situasi dan kondisi individu, Jenis informasi seperti ini dapat menolong individu untuk mengenali dan mengatasi masalah dengan lebih mudah.

3. Dukungan emosional

Bentuk dukungan ini membuat individu memiliki perasaan nyaman, yakin, diperdulikan dan dicintai oleh sumber dukungan sosial sehingga individu dapat menghadapi masalah dengan lebih baik. Dukungan ini sangat penting dalam menghadapi keadaan yang dianggap tidak dapat dikontrol.

4. Dukungan pada harga diri

Bentuk dukungan ini berupa penghargaan positif pada individu, pemberian semangat, persetujuan pada pendapat induividu, perbandingan yang positif dengan individu lain. Bentuk dukungan ini membantu individu dalam membangun harga diri dan kompetensi.

5. Dukungan dari kelompok sosial

Bentuk dukungan ini akan membuat individu merasa anggota dari suatu kelompok yang memiliki kesamaan minat dan aktifitas sosial dengannya. Dengan begitu individu akan merasa memiliki teman senasib.

Dampak Dukungan Sosial

Bagaimana dukungan sosial dapat memberikan kenyamanan fisik dan psikologis kepada individu dapat dilihat dari bagaimana dukungan sosial mempengaruhi kejadian dan efek dari stress. Lieberman (1992) mengemukakan bahwa secara teoritis dukungan sosial dapat menurunkan kecenderungan munculnya kejadian yang dapat mengakibatkan stress. Apabila kejadian tersebut muncul, interaksi dengan orang lain dapat memodifikasi atau mengubah persepsi individu pada kejadian tersebut dan oleh karena itu akan mengurangi potensi munculnya stress.

Dukungan sosial juga dapat mengubah hubungan anatara respon individu pada kejadian yang dapat menimbulkan stres dan stres itu sendiri, mempengaruhi strategi untuk mengatasi stres dan dengan begitu memodifikasi hubungan antara kejadian yang menimbulkan stres mengganggu kepercayaan diri, dukungan sosial dapat memodifikasi efek itu.

Dukungan sosial ternyata tidak hanya memberikan efek positif dalam memepengaruhi kejadian dan efek stres. Dalam Safarino (1998) disebutkan beberapa contoh efek negatif yang timbul dari dukungan sosial, antara lain :

1. Dukungan yang tersdia tidak dianggap sebagai sesuatu yang membantu. Hal ini dapat terjadi karena dukungan yang diberikan tidak cukup, individu merasa tidak perlu dibantu atau terlalu khawatir secra emosional sehingga tidak memperhatikan dukungan yang diberikan.

2. Duklungan yang diberikan tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan individu.

3. Sumber dukungan memberikan contoh buruk pada individu, seperti melakukan atau menyarankan perilaku tidak sehat.

4. Terlalu menjaga atau tidak mendukung individu dalam melakukan sesuatu yang diinginkannya. Keadaan ini dapat mengganggu program rehabilitasi yang seharusnya dilakukan oleh individu dan menyebabkan individu menjadi tergantung pada orang lain

LANDASAN HUKUM PROFESI PERAWAT

Manusia sebagai makhluk sosial yang selalu senantiasa berhubungan dengan manusia lain dalam masyarakat, senantiasa diatur diantaranya norma agama, norma etik dan norma hukum. Ketiga norma tersebut, khususnya norma hukum dibutuhkan untuk menciptakan ketertiban di dalam masyarakat. Dengan terciptanya ketertiban, ketentraman dan pada kahirnya perdamaian dalam berkehidupan, diharapkan kepentingan manusia dapat terpenuhi. Kesehatan, sebagai salah satu kebutuhan pokok manusia selain sandang, pangan, papan dan pendidikan, perlu diatur dengan berbagai piranti hukum. Sebab pembangunan di bidang kesehatan diperlukan tiga faktor :
1. perlunya perawatan kesehatan diatur dengan langkah-langkah tindakan konkrit dari pemerintah
2. perlunya pengaturan hukum di lingkungan sistem perawatan kesehatan
3. perlunya kejelasan yang membatasi antara perawatan kesehatan dengan tindakan tertentu.

Ketiga faktor tersebut memerlukan piranti hukum untuk melindungi pemberi dan penerima jasa kesehatan, agar ada kepastian hukum dalam melaksanakan tugas profesinya. Dalam pelayanan kesehatan (Yan-Kes), pada dasarnya merupakan hubungan “unik”, karena hubungan tersebut bersifat interpersonal. Oleh karena itu, tidak saja diatur oleh hukum tetapi juga oleh etika dan moral. Di dalam konteks ini, saya mencoba memberikan pemahaman kepada kawan-kawan perawat tentang arti penting peraturan hukum di bidang kesehatan dalam melaksanakan tugas pelayanan kesehatan.

I. Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan
I.1. BAB I Ketentuan Umum, Pasal 1 Ayat 3
Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.

I.2. Pasal 1 Ayat 4
Sarana Kesehatan adalah tempat yang dipergunakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan.

II. Keputusan Menteri kesehatan Republik Indonesia Nomor:
1239/MENKES/SK/XI/2001 tentang Registrasi dan Praktek Perawat (sebagai revisi dari SK No. 647/MENKES/SK/IV/2000)

II.1. BAB I Ketentuan Umum Pasal 1 :
Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :
1. Perawat adalah orang yang telah lulus pendidikan perawat baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Surat Izin Perawat selanjutnya disebut SIP adalah bukti tertulis pemberian kewenangan untuk menjalankan pekerjaan keperawatan di seluruh Indonesia (garis bawah saya).
3. Surat Ijin Kerja selanjutnya disebut SIK adalah bukti tertulis untuk menjalankan pekerjaan keperawatan di seluruh wilayah Indonesia (garis bawah saya).

ketentuan Pidana yang diatur dalam Pasal 359, 360, 351, 338 bahkan bisa juga dikenakan pasal 340 KUHP. Salah satu contohnya adalah pelanggaran yang menyangkut Pasal 32 Ayat (4) Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan. Dalam ketentuan tersebut diatur mengenai pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran atau ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Pelanggaran atas pasal tersebut dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 82 ayat (1a) Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan :
“barang siapa yang tanpa keahlian dan kewenagan dengan sengaja : melakukan pengobatan dan atau peraywatan sebagaimana dimaksud pasal 32 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”

perorangan/berkelompok (garis bawah saya).
5. Standar Profesi adalah pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesi secara baik

II.1.2. BAB III Perizinan, Pasal 8 :
1. Perawat dapat melaksanakan praktek keperawatan pada sarana pelayanan kesehatan, praktek perorangan/atau berkelompok.
2. Perawat yang melaksanakan praktek keperawatan pada sarana pelayanan kesehatan harus memiliki SIK (garis bawah saya).
3. Perawat yang melakukan praktek perorangan/berkelompok harus memiliki SIPP (garis bawah saya).

Pasal 9 Ayat 1
SIK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Ayat 2 diperoleh dengan mengajukan permohonan kepada kepala dinas kesehatan kabupaten/kota setempat.

Pasal 10
SIK hanya berlaku pada 1 (satu) sarana pelayanan kesehatan.

Pasal 12
(1).SIPP sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (3) diperoleh dengan mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat.

4. Surat Ijin Praktek Perawat selanjutnya disebut SIPP adalah bukti tertulis yang diberikan perawat untuk menjalankan praktek perawat

(2).SIPP hanya diberikan kepada perawat yang memiliki pendidikan ahli madya keperawatan atau memiliki pendidikan keperawatan dengan kompetensi yang lebih tinggi.

Pasal 13
Rekomendasi untuk mendapatkan SIK dan/atau SIPP dilakukan melalui penilaian kemampuan keilmuan dan keterampilan bidang keperawatan, kepatuhan terhadap kode etik profesi serta kesanggupan melakukan praktek keperawatan.

Pasal 15
Perawat dalam melaksanakan praktek keperawatan berwenang untuk :
a. melaksanakan asuhan keperawatan meliputi pengkajian, penetapan diagnosa keperawatan, perencanaan, melaksanakan tindakan keperawatan dan evaluasi keperawatan.
b. Tindakan keperawatan sebagaimana dimaksud pada butir a meliputi : intervensi keperawatan, observasi keperawatan, pendidikan dan konseling kesehatan.
c. Dalam melaksanakan asuhan keperawatan sebagaimana dmaksud huruf a dan b harus sesuai dengan standar asuhan keperawatan yang ditetapkan organisasi profesi.
d. Pelayanan tindakan medik hanya dapat dilakukan berdasarkan permintaan tertulis dari dokter (garis bawah saya).

Pengecualian pasal 15 adalah pasal 20;
(1). Dalam keadaan darurat yang mengancam jiwa pasien/perorangan, perawat berwenang untuk melakukan pelayanan kesehatan diluar kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.
(2). Pelayanan dalam keadaan darurat sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) ditujukan untuk penyelamatan jiwa.

Pasal 21
(1).Perawat yang menjalankan praktek perorangan harus mencantumkan SIPP di ruang prakteknya. (garis bawah saya).
(2).Perawat yang menjalankan praktek perorangan tidak diperbolehkan memasang papan praktek (garis bawah saya).

Pasal 31
(1). Perawat yang telah mendapatkan SIK aatau SIPP dilarang :
a. menjalankan praktek selain ketentuan yang tercantum dalam izin tersebut.
b. melakukan perbuatan bertentangan dengan standar profesi.
(2). Bagi perawat yang memberikan pertolongan dalam keadaan darurat atau menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada tenaga kesehatan lain, dikecualikan dari larangan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) butir a.

Di dalam praktek apabila terjadi pelanggaraan praktek keperawatan, aparat penegak hukum lebih cenderung mempergunakan Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan dan ketentuan-
Sebagai penutup, saya sangat berharap adanya pemahaman yang baik dan benar tentang beberapa piranti hukum yang mengatur pelayanan kesehatan untuk menunjang pelaksanaan tugas di bidang keperawatan dengan baik dan benar

RUU Praktik Keperawatan

Definisi dan Tujuan Praktik Keperawatan

Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan professional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan. Didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat baik sehat maupun sakit yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia.

Praktek keperawatan adalah tindakan mandiri perawat melalui kolaborasi dengan system klien dan tenaga kesehatan lain dalam membrikan asuhan keperawatan sesuai lingkup wewenang dan tanggung jawabnya pada berbagai tatanan pelayanan, termasuk praktik keperawatan individual dan berkelompok

Pengaturan penyelenggaraan praktik keperawatan bertujuan untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada penerima dan pemberi jasa pelayanan keperawatan. Mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan keperawatan yang diberikan oleh perawat.


2.2 Pentingnya Undang-Undang Praktik Keperawatan

Ada beberapa alasan mengapa Undang-Undang Praktik Keperawatan dibutuhkan. Pertama, alasan filosofi. Perawat telah memberikan konstribusi besar dalam peningkatan derajat kesehatan. Perawat berperan dalam memberikan pelayanan kesehatan mulai dari pelayanan pemerintah dan swasta, dari perkotaan hingga pelosok desa terpencil dan perbatasan. Tetapi pengabdian tersebut pada kenyataannya belum diimbangi dengan pemberian perlindungan hukum, bahkan cenderung menjadi objek hukum. Perawat juga memiliki kompetensi keilmuan, sikap rasional, etis dan profesional, semangat pengabdian yang tinggi, berdisiplin, kreatif, terampil, berbudi luhur dan dapat memegang teguh etika profesi. Disamping itu, Undang-Undang ini memiliki tujuan, lingkup profesi yang jelas, kemutlakan profesi, kepentingan bersama berbagai pihak (masyarakat, profesi, pemerintah dan pihak terkait lainnya), keterwakilan yang seimbang, optimalisasi profesi, fleksibilitas, efisiensi dan keselarasan, universal, keadilan, serta kesetaraan dan kesesuaian interprofesional (WHO, 2002).

Kedua, alasan yuridis. UUD 1945, pasal 5, menyebutkan bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Demikian Juga UU Nomor 23 tahun 1992, Pasal 32, secara eksplisit menyebutkan bahwa pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran dan atau ilmu keperawatan, hanya dapat dilaksanakan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Sedang pasal 53, menyebutkan bahwa tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya. Ditambah lagi, pasal 53 bahwa tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien. Disisi lain secara teknis telah berlaku Keputusan Menteri Kesehatan Nomor1239/Menkes/SK/XI/2001 tentang Registrasi dan Praktik Perawat.

Ketiga, alasan sosiologis. Kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan khususnya pelayanan keperawatan semakin meningkat. Hal ini karena adanya pergeseran paradigma dalam pemberian pelayanan kesehatan, dari model medikal yang menitikberatkan pelayanan pada diagnosis penyakit dan pengobatan, ke paradigma sehat yang lebih holistik yang melihat penyakit dan gejala sebagai informasi dan bukan sebagai fokus pelayanan (Cohen, 1996). Disamping itu, masyarakat membutuhkan pelayanan keperawatan yang mudah dijangkau, pelayanan keperawatan yang bermutu sebagai bagian integral dari pelayanan kesehatan, dan memperoleh kepastian hukum kepada pemberian dan penyelenggaraan pelayanan keperawatan.

Keperawatan merupakan salah satu profesi dalam dunia kesehatan . Sebagai profesi, tentunya pelayanan yang diberikan harus professional, sehingga perawat/ners harus memiliki kompetensi dan memenuhi standar praktik keperawatan, serta memperhatikan kode etik dan moral profesi agar masyarakat menerima pelayanan dan asuhan keperwatan yang bemutu. Tetapi bila kita lihat realita yang ada, dunia keprawatan di Indonesia sangat memprihatinkan .Fenomene “gray area” pada berbagai jenis dan jenjang keperawatan yang ada maupun dengan profesi kesehatan lainnya masih sulit dihindari.

Berdasarkan hasil kajian (Depkes & UI, 2005) menunujukkan bahwa terdapat perawat yang menetapkan diagnosis penyakit (92,6%), membuat resep obat (93,1%), melakukan tindakan pengobatan didalam maupun diluar gedung puskesmas (97,1%), melakukan pemeriksaan kehamilan (70,1%), melakukan pertolongan persalinan(57,7%), melaksanakan tugas petugas kebersihan (78,8%), dan melakukan tugas administrasi seperti bendahara,dll (63,6%).

Pada keadaan darurat seperti ini yang disebut dengan “gray area” sering sulit dihindari. Sehingga perawat yang tugasnya berada disamping klien selama 24 jam sering mengalami kedaruratan klien sedangkan tidak ada dokter yang bertugas. Hal ini membuat perawat terpaksa melakukan tindakan medis yang bukan merupakan wewenangnya demi keselamatan klien. Tindakan yang dilakukan tanpa ada delegasi dan petunjuk dari dokter, terutama di puskesmas yang hanya memiliki satu dokter yang berfungsi sebagai pengelola puskesmas, sering menimbulkan situasi yang mengharuskan perawat melakukan tindakan pengobatan. Fenomena ini tentunya sudah sering kita jumpai di berbagai puskesmas terutama di daerah-daerah tepencil. Dengan pengalihan fungsi ini, maka dapat dipastikan fungsi perawat akan terbengkalai. Dan tentu saja ini tidak mendapat perlindungan hukum karena tidak dipertanggungjawabkan secara professional.

Kemudian fenomena melemahkan kepercayaan masyarakat dan maraknya tuntunan hukum terhadap praktik tenaga kesehatan termasuk keperawatan, sering diidentikkan dengan kegagalan upaya pelayanan kesehatan. Hanya perawat yang memeuhi persyaratan yang mendapat izin melakukan praktik keperawatan.

Saat ini desakan dari seluruh elemen keperawatan akan perlunya UU Keperawatan semakin tinggi . Uraian diatas cukup menggambarkan betapa pentingnya UU Keperawatan tidak hanya bagi perawat sendiri, melainkan juga bagi masyarakat selaku penerima asuhan keperawatan. Sejak dilaksanakan Lokakarya Nasional Keperawatan tahun 1983 yang menetapkan bahwa keperawatan merupakan profesi dan pendidikan keperawatan berada pada pendidikan tinggi, berbagai cara telah dilakukan dalam memajukan profesi keperwatan.

Pada tahun 1989, PPNI sebagai organisasi perawat di Indonesia mulai memperjuangkan terbentuknya UU Keperawatan. Berbagai peristiwa penting terjadi dalam usaha mensukseskan UU Keperawatan ini. Pada tahun 1992 disahkanlah UU Kesehatan yang didalamnya mengakui bahwa keperawatan merupakan profesi ( UU Kesehatan No.23, 1992). Peristiwa ini penting artinya, karena sebelumnya pengakuan bahwa keperawatan merupakan profesi hanya tertuang dalam peraturan pemerintah (PP No.32, 1996). Dan usulan UU Keperawatan baru disahkan menjadi RUU Keperawatan pada tahun 2004.

Perlu kita ketahui bahwa untuk membuat suatu undang-undang dapat ditempuh dengan 2 cara yakni melalui pemerintah (UUD 1945 Pasal 5 ayat 1) dan melalui DPR (Badan Legislatif Negara). Selama hampir 20 tahun ini PPNI memperjuangkan RUU Keperawtan melalui pemerintah, dalam hal ini Depkes RI. Dana yang dikeluarkan pun tidak sedikit. Tapi kenyataannya hingga saat ini RUU Keperawatan berada pada urutan 250-an pada program Legislasi Nasional (Prolegnas) , yang ada pada tahun 2007 berada pada urutan 160 (PPNI, 2008).

Tentunya pengetahuan masyarakat akan pentingnya UU Keperawatan mutlak diperlukan. Hal ini terkait status DPR yang merupakan Lembaga Perwakilan Rakyat, sehingga pembahasan-pembahasan yang dilakukan merupakan masalah yang sedang terjadi di masyarakat. Oleh karena itu, pencerdasan kepada masyarakat akan pentingnya UU Keperawatan pun masuk dalam agenda DPR RI.

Dalam UU Tentang praktik keperawatan pada bab 1 pasal 1 yang ke-3 berbunyi :

“ Asuhan keperawatan adalah proses atau rangkaian kegiatan pada praktik keperawatan baik langsung atau tidak langsung diberikan kepada sistem klien disarana dan tatanan kesehatan lainnya, dengan menggunakan pendekatan ilmiah keperawatan berdasarkan kode etik dan standar pratik keperawatan.

Dan pasal 2 berbunyi :

“ Praktik keperawatan dilaksanakan berdasarkan pancasila dan berdasarkan pada nilai ilmiah, etika dan etiket, manfaat, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan dan perlindungan serta keselamatan penerima dan pemberi pelayanan keperawatan.

2.3 PPNI mendorong disahkannya Undang-Undang Praktik Keperawatan

Dalam peringatan Hari Perawat Sedunia ini Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) lebih mendorong disahkannya Undang-Undang Praktik Keperawatan. Hal ini karena pertama, Keperawatan sebagai profesi memiliki karateristik yaitu, adanya kelompok pengetahuan (body of knowledge) yang melandasi keterampilan untuk menyelesaikan masalah dalam tatanan praktik keperawatan; pendidikan yang memenuhi standar dan diselenggarakan di Perguruan Tinggi; pengendalian terhadap standar praktik; bertanggungjawab dan bertanggungugat terhadap tindakan yang dilakukan; memilih profesi keperawatan sebagai karir seumur hidup, dan; memperoleh pengakuan masyarakat karena fungsi mandiri dan kewenangan penuh untuk melakukan pelayanan dan asuhan keperawatan yang beriorientasi pada kebutuhan sistem klien (individu, keluarga, kelompok dan komunitas)

. Kedua, kewenangan penuh untuk bekerja sesuai dengan keilmuan keperawatan yang dipelajari dalam suatu sistem pendidikan keperawatan yang formal dan terstandar menuntut perawat untuk akuntabel terhadap keputusan dan tindakan yang dilakukannya. Kewenangan yang dimiliki berimplikasi terhadap kesediaan untuk digugat, apabila perawat tidak bekerja sesuai standar dan kode etik. Oleh karena itu, perlu diatur sistem registrasi, lisensi dan sertifikasi yang ditetapkan dengan peraturan dan perundang-undangan. Sistem ini akan melindungi masyarakat dari praktik perawat yang tidak kompeten, karena Konsil Keperawatan Indonesia yang kelak ditetapkan dalam Undang Undang Praktik Keperawatan akan menjalankan fungsinya. Konsil Keperawatan melalui uji kompetensi akan membatasi pemberian kewenangan melaksanakan praktik keperawatan hanya bagi perawat yang mempunyai pengetahuan yang dipersyaratkan untuk praktik. Sistem registrasi, lisensi dan sertifikasi ini akan meyakinkan masyarakat bahwa perawat yang melakukan praktik keperawatan mempunyai pengetahuan yang diperlukan untuk bekerja sesuai standar

. Ketiga, perawat telah memberikan konstribusi besar dalam peningkatan derajat kesehatan. Perawat berperan dalam memberikan pelayanan kesehatan mulai dari pelayanan pemerintah dan swasta, dari perkotaan hingga pelosok desa terpencil dan perbatasan. Tetapi pengabdian tersebut pada kenyataannya belum diimbangi dengan pemberian perlindungan hukum, bahkan cenderung menjadi objek hukum. Perawat juga memiliki kompetensi keilmuan, sikap rasional, etis dan profesional, semangat pengabdian yang tinggi, berdisiplin, kreatif, terampil, berbudi luhur dan dapat memegang teguh etika profesi. Disamping itu, Undang-Undang ini memiliki tujuan, lingkup profesi yang jelas, kemutlakan profesi, kepentingan bersama berbagai pihak (masyarakat, profesi, pemerintah dan pihak terkait lainnya), keterwakilan yang seimbang, optimalisasi profesi, fleksibilitas, efisiensi dan keselarasan, universal, keadilan, serta kesetaraan dan kesesuaian interprofesional (WHO, 2002)

Indonesia menghasilkan demikian banyak tenaga perawat setiap tahun. Daya serap Dalam Negeri rendah. Sementara peluang di negara lain sangat besar. Inggris merekrut 20.000 perawat/tahun, Amerika sekitar 1 juta RN sampai dengan tahun 2012, Kanada sekitar 78.000 RN sampai dengan tahun 2011, Australia sekitar 40.000 sampai dengan tahun 2010. Belum termasuk Negara-negara Timur Tengah yang menjadi langganan kita. Peluang ini sulit dipenuhi karena perawat kita tidak memiliki kompetensi global. Oleh karena itu, keberadaan Konsil Keperawatan/Nursing Board sangat dibutuhkan.

Konsil ini yang memiliki kewenangan untuk melakukan pengaturan, pengesahan, serta penetapan kompetensi perawat yang menjalankan praktik dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan. Konsil bertujuan untuk melindungi masyarakat, menentukan siapa yang boleh menjadi anggota komunitas profesi (mekanisme registrasi), menjaga kualitas pelayanan dan memberikan sangsi atas anggota profesi yang melanggar norma profesi (mekanisme pendisiplinan). Konsil akan bertanggungjawab langsung kepada presiden, sehingga keberadaan Konsil Keperawatan harus dilindungi oleh Undang-Undang Praktik Keperawatan.

Tentunya kita tidak ingin hanya untuk memperoleh pengakuan Registered Nurse (RN) perawat kita harus meminta-minta kepada Malaysia, Singapura atau Australia. Negara yang telah memiliki Nursing Board. Mekanisme, prosedur, sistem ujian dan biaya merupakan hambatan. Belum lagi pengakua dunia internasional terhadap perawat Indonesia. Oleh karena itu, sesuatu yang ironis ketika banyak negara membutuhkan perawat kita tetapi lembaga yang menjamin kompetensinya tidak dikembangkan. Kepentingan besar itulah yang saat ini sedang diperjuangkan oleh Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). PPNI telah beberapa kali melobi Pemerintah, khususnya Departemen Kesehatan dan DPR untuk melolosan RUU Praktik Keperawatan menjadi Undang-Undang. Tetapi upaya itu masih sulit ditembus karena mereka menganggap urgensi RUU ini masih dipertanyakan. Sementara tuntutan arus bawah demikian kuat.

2.4 Undang-Undang yang ada di Indonesia yang berkaitan dengan praktik keperawatan :

1. UU No. 9 tahun 1960, tentang pokok-pokok kesehatan

Bab II (Tugas Pemerintah), pasal 10 antara lain menyebutkan bahwa pemerintah mengatur kedudukan hukum, wewenang dan kesanggupan hukum.

2. UU No. 6 tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan.

UU ini merupakan penjabaran dari UU No. 9 tahun 1960. UU ini membedakan tenaga kesehatan sarjana dan bukan sarjana. Tenaga sarjana meliputi dokter, dokter gigi dan apoteker. Tenaga perawat termasuk dalam tenaga bukan sarjana atau tenaga kesehatan dengan pendidikan rendah, termasuk bidan dan asisten farmasi dimana dalam menjalankan tugas dibawah pengawasan dokter, dokter gigi dan apoteker. Pada keadaan tertentu kepada tenaga pendidikan rendah dapat diberikan kewenangan terbatas untuk menjalankan pekerjaannya tanpa pengawasan langsung. UU ini boleh dikatakan sudah usang karena hanya mengkalasifikasikan tenaga kesehatan secara dikotomis (tenaga sarjana dan bukan sarjana). UU ini juga tidak mengatur landasan hukum bagi tenaga kesehatan dalam menjalankan pekerjaannya. Dalam UU ini juga belum tercantum berbagai jenis tenaga sarjana keperawatan seperti sekarang ini dan perawat ditempatkan pada posisi yang secara hukum tidak mempunyai tanggung jawab mandiri karena harus tergantung pada tenaga kesehatan lainnya.

3. UU Kesehatan No. 14 tahun 1964, tentang Wajib Kerja Paramedis.

Pada pasal 2, ayat (3) dijelaskan bahwa tenaga kesehatan sarjana muda, menengah dan rendah wajib menjalankan wajib kerja pada pemerintah selama 3 tahun.

Dalam pasal 3 dijelaskan bahwa selama bekerja pada pemerintah, tenaga kesehatan yang dimaksud pada pasaal 2 memiliki kedudukan sebagai pegawai negeri sehingga peraturan-peraturan pegawai negeri juga diberlakukan terhadapnya.

UU ini untuk saat ini sudah tidak sesuai dengan kemampuan pemerintah dalam mengangkat pegawai negeri. Penatalaksanaan wajib kerja juga tidak jelas dalam UU tersebut sebagai contoh bagaimana sistem rekruitmen calon peserta wajib kerja, apa sangsinya bila seseorang tidak menjalankan wajib kerja dan lain-lain. Yang perlu diperhatikan bahwa dalam UU ini, lagi posisi perawat dinyatakan sebagai tenaga kerja pembantu bagi tenaga kesehatan akademis termasuk dokter, sehingga dari aspek profesionalisasian, perawat rasanya masih jauh dari kewenangan tanggung jawab terhadap pelayanannya sendiri.

4. SK Menkes No. 262/Per/VII/1979 tahun 1979

Membedakan paramedis menjadi dua golongan yaitu paramedis keperawatan (temasuk bidan) dan paramedis non keperawatan. Dari aspek hukum, suatu hal yang perlu dicatat disini bahwa tenaga bidan tidak lagi terpisah tetapi juga termasuk katagori tenaga keperawatan.

5. Permenkes. No. 363/Menkes/Per/XX/1980 tahun 1980

Pemerintah membuat suatu pernyataan yang jelas perbedaan antara tenaga keperawaan dan bidan. Bidan seperti halnya dokter, diijinkan mengadakan praktik swasta, sedangkan tenaga keperawatan secara resmi tidak diijinkan. Dokter dapat membuka praktik swasta untuk mengobati orang sakit dan bidang dapat menolong persalinan dan pelayanan KB. Peraturan ini boleh dikatakan kurang relevan atau adil bagi profesi keperawatan. Kita ketahui negara lain perawat diijinkan membuka praktik swasta. Dalam bidang kuratif banyak perawat harus menggatikan atau mengisi kekurangan tenaga dokter untuk menegakkan penyakit dan mengobati terutama dipuskesmas-puskesma tetapi secara hukum hal tersebut tidak dilindungi terutama bagi perawat yang memperpanjang pelayanan di rumah. Bila memang secara resmi tidak diakui, maka seyogyanya perawat harus dibebaskan dari pelayanan kuratif atau pengobatan utnuk benar-benar melakukan nursing care.

6. SK Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. 94/Menpan/1986, tanggal 4 November 1986, tentang jabatan fungsional tenaga keperawatan dan sistem kredit point.

Dalam sisitem ini dijelaskan bahwa tenaga keperawatan dapat naik jabatannya atau naik pangkatnya setiap dua tahun bila memenuhi angka kredit tertentu. Dalam SK ini, tenaga keperawatan yang dimaksud adalah : Penyenang Kesehatan, yang sudah mencapai golingan II/a, Pengatur Rawat/Perawat Kesehatan/Bidan, Sarjana Muda/D III Keperawatan dan Sarjana/S1 Keperawatan. Sistem ini menguntungkan perawat, karena dapat naik pangkatnya dan tidak tergantung kepada pangkat/golongan atasannya

7. UU Kesehatan No. 23 Tahun 1992

Merupakan UU yang banyak memberi kesempatan bagi perkembangan termasuk praktik keperawatan profesional karena dalam UU ini dinyatakan tentang standar praktik, hak-hak pasien, kewenangan,maupun perlindungan hukum bagi profesi kesehatan termasuk keperawatan.

Beberapa pernyataaan UU Kes. No. 23 Th. 1992 yang dapat dipakai sebagai acuan pembuatan UU Praktik Keperawatan adalah :

Pasal 53 ayat 4 menyebutkan bahwa ketentuan mengenai standar profesi dan hak-hak pasien ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

Pasal 50 ayat 1 menyatakan bahwa tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan atau melaksanakan kegiatan sesuai dengan bidang keahlian dan kewenangannya

Pasal 53 ayat 4 menyatakan tentang hak untuk mendapat perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan.

2.5 Tugas Pokok dan Fungsi Keperawatan Dalam RUU Keperawatan

  1. Fungsi Keperawatan

Pengaturan, pengesahan serta penetapan kompetensi perawat yang menjalankan praktik keperawatan dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan keperawatan

  1. Tugas Keperawatan

  1. Melakukan uji kompetensi dalam registrasi keperwatan

  1. Membuat peraturan-peraturan terkait dengan praktik keperwatan untuk melindungi masyarakat

Wewenang

  1. Menyetujui dan menolak permohonan registrasi keperawatan

  1. Mengesahkan standar kompetensi perawat yang dibuat oleh organisasi profesi keperawatan dan asosiasi institusi pendididkan keperawatan

  1. Menetapkan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan oleh perawat

  1. Menetapkan sanksi terhadap kesalahan praktik yang dilakukan oeh perawat

  1. Menetapkan penyelenggaraan program pendidikan keperawatan


TREN DAN ISU MUTAKHIR PRAKTEK PERAWAT

Upaya-upaya bidang kesehatan selama ini seperti preventif, promoti, kuratif dan rehabilitatif rupanya perlu mendapatkan refleksi dari perawat. Kritisi tersebut bukan untuk menggugat cakupan pelayanan kesehatan, melainkan perawat perlu menciptakan model praktik pelayanan perawatan yang khas dan berbeda, sehingga meskipun perannya tidak langsung berdampak terhadap peningkatan indeks pembangunan manusia, namun tetap berarti (mengisi sektor yang kosong/tidak tergarap) karena perannya tidak identik dengan profesi lain atau sebagai sub sistem tenaga kesehatan lainnya.

Mengingat hal – hal tersebut kita perlu mencermati beberapa peristiwa di belahan dunia lain, akan perubahan – perubahan konsep dan pengembangan kesehatan. Khususnya di negara maju seperti Amerika, hasil riset yang dikemukakan oleh Bournet (dalam Jurnal Riset) tentang perkembangan “Hospital At Home” atau perawatan pasien di rumah mereka sendiri, secara kuantitatif menunjukan peningkatan dari tahun ke tahunnya. Pada tahun 1970an rasionya adalah 291 ; 1 , kemudian tahun 1990an perbandingannya sekitar 120 ; 1 dan terakhir penelitian pada tahun 2004 perbedaannya menjadi semakin tipis yaitu 12 ; 1. Masih penelitian tentang Hospital At Home dan di Amerika menunjukan bahwa, tingkat kepuasan pasien yang di rawat di rumahnya sendiri lebih memuaskan pasien dan keluarga dibandingkan dengan mereka yang dirawat di rumah sakit. Bila kita melihat tren dan isu di negara lain tersebut kita dapat membuat satu analisis bahwa, Hospital At Home akan menjadi salah satu model anyar yang perkembangannya akan sangat pesat.

Implikasinya bagi perawat dan praktek keperawatan jelas hal ini merupakan angin surga, karena dengan praktik dalam model Hospital At Home, perawat akan menunjukan eksistensinya. Keuntungannya dalam meningkatkan peran perawat antara lain; (1) Otonomi praktik keperawatan akan jelas dibutuhkan dan dibuktikan, mengingat kedatangan perawat ke rumah pasien memikul tanggung jawab profesi, (2) Perawat dimungkinkan menjadi manager/ leader dalam menentukan atau memberikan pandangan kepada pasien tentang pilihan – pilihan tindakan atau rujukan yang sebaiknya ditempuh pasien, (3) Patnership, berdasarkan pengalaman di lapangan kebersamaan dan penghargaan dengan sesama rekan sejawat serta profesi lain memperlihatkan ke-egaliterannya , (4) Riset dan Pengembangan Ilmu, hal ini yang paling penting, dengan adanya konsistensi terhadap keperawatan nampak fenomena keunggulan dari Hospital At Home ini, ketika perawat mengasuh pasien dengan jumlah paling ideal yaitu satu pasien dalam satu waktu, interaksi tersebut selain memberikan tingkat kepuasan yang baik juga memberikan dorongan kepada perawat untuk memecahkan masalah secara scientific approach.

Berdasarkan uraian tersebut jelaslah bahwa ruang kosong praktek Hospital At Home ini menjadi peluang bidang garap yang akan menambah tegas betapa perawat memiliki peran yang tidak identik dan tidak tergantikan. Pengalaman di lapangan membuktikan tentang betapa tingginya animo masyarakat akan kehadiran Hospital At Home (Nursing At Home), hanya saja ada beberapa tantangan yang menuntut keseriusan untuk segera mengembangkan model ini. Tantanga tersebut diantaranya adalah Infrastruktur Hospital At Home yang sangat mahal, salahsatunya adalah keberadaan alat kesehatan, dengan konsep one tools one patien/home, maka bisa dibayangkan kebutuhan alat kesehatan ini akan semakin membengkak, baik kebutuhan secara jumlah ataupun mahalnya alat tersebut. Kedua adalah sosialisasi, perlu adanya perumusan metoda sosialisasi yang efektif, ethic dan legal dalam mengenalkan model pelayanan Hospital At Home tersebut agar tidak terjadi misinterpretasi dan miskomunikasi.

Kontroversi pengobatan alternatif

Kontroversi Pengobatan ala Ponari :

Di tangan bocah cilik Mohammad Ponari segenggam batu dipercaya dapat mengobati segala macam penyakit. Jadilah dia berjuluk dukun cilik yang sepanjang pagi hingga malam diburu puluhan ribu orang yang berharap berkah kesembuhan darinya. Warga yang mencari kesembuhan tak hanya memadati rumah dan halaman keluarga Ponari. Desa Balongsari, Jombang, Jawa Timur, kampung halaman Ponari pun penuh sesak oleh lautan manusia.

Di tengah membanjirnya warga yang ingin berobat, polisi menutup praktik pengobatan ini 11 Februari lalu. Alasannya, Ponari kelelahan dan jatuh sakit. Dan telah jatuh korban pula. Empat orang tewas ketika berdesakan hendak memburu pengobatan Ponari. Setelah ditutup, warga yang tak kebagian air bekas celupan batu milik Ponari memburu air di sumur dan comberan di sekitar rumah Ponari. Lantaran peminatnya terus berdatangan, pekan ini, pengobatan Ponari akhirnya dibuka kembali.

Banyak orang kadung percara dengan pengobatan ala Ponari. Namun tahukah Anda, ketika Ponari sakit, si dukun cilik itu dibawa ke dokter. Meski tak sampai menginap di rumah sakit, masyarakat perlu lebih waspada dan menggunakan akal sehatnya saat harus percaya dengan pengobatan ala Ponari. Karena bahkan pada dirinya sendiri, dia tak mampu menyingkirkan sakit yang menderanya. Bukan itu saja. Kasmin, ayah Ponari, pun lebih memilih pengobatan modern dibandingkan harus berobat ke anaknya sendiri.

Benarkah jimat memiliki kekuatan yang tersembunyi? Apakah ini hanya takhayul semata?

Jika kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “Jimat” diartikan sebagai benda yang mengandung kesaktian untuk menolak penyakit, menjadikan kebal senjata, dan sebagainya.
Penggunaan “dan sebagainya” pada keterangan tersebut agaknya sengaja dilakukan penyusun kamus agar pendefinisian kata “Jimat” tidaklah terlalu panjang dan bertele-tele. Pada kenyataannya, keyakinan mengenai jimat memang tidak berhenti pada aspek menolak penyakit dan kebal senjata. Masih banyak aspek-aspek lain yang diyakini bisa muncul lewat kekuatan (gaib) sebuah jimat. Sebagai contoh, jimat untuk peruntungan, jimat pengasihan, hingga jimat untuk kekuatan seks.
Benda-benda yang dianggap sebagai jimat dilaporkan ditemukan di berbagai belahan dunia. Pada masyarakat Mesir Kuno, misalnya, ada macam-macam jimat yang ditemukan menempel pada mumi. Dua di antaranya adalah yang disebut Scarab sebagai lambang keabadian, dan Ankh berupa palang terbalik sebagai simbol kehidupan. Kedua model jimat ini masih digunakan di Barat.
Di wilayah Polinesia terdapat Tiki, berupa benda kecil berbentuk ukiran tubuh manusia yang berhubungan dengan kelahiran. Jimat model ini juga masih populer di Barat.
Sementara itu, benda-benda alamiah berbentuk aneh pun kerap dipakai sebagai jimat. Mulai dari logam, bulu, kain, kayu, tulang, kerang, gigi dan kuku binatang, sampai tanaman. Barang-barang itu diyakini menyimpan energi dari kekuatan alam. Sebagai contoh, bagi pria suku primitif Mocovi di Chaco, Amerika Utara, kuku rusa yang diikatkan di pergelangan kaki dan pinggang dijadikan sebagai jimat agar membuat mereka bisa berlari secepat rusa.Atau, kita tak perlu jauh-jauh mencari contoh. Di kalangan masyarakat kita pun ada kepercayaan yang nyaris serupa. Batu akik kecubung asihan dipercaya punya khasiat menolak penyakit menular, menambah rasa percaya diri, kewibawaan, dan kehormatan. Jenis akik ini biasanya juga dipakai sebagai jimat agar enteng jodoh.
Demikianlah beberapa buah contoh jimat alamiah, yang tentu saja untuk memperolehnya tidaklah mudah. Bahkan, jimat-jimat alamiah tersebut sejatinya tidak bisa langsung siap pakai atau langsung terasa khasiatnya, melainkan juga harus melalui proses ritual tersendiri untuk pengisiannya.
Sekarang, mari kita fokuskan pembahasan kita pada berbagai jenis jimat buatan manusia, yang tentu saja ahli dalam bidang ini. Mengutip pendapat Prancis Barrett dalam The Magis or Celestial Intelligencer, apa yang disebut sebagai jimat buatan tersebut telah dikenal orang sejak zaman dahulu kala, dan khasiatnya memang bisa dirasakan. Sebagai contoh, Barrett mengatakan, “Jika seseorang mengenakan jimat dari perak, logam yang mewakili bulan, dibuat ketika bulan sedang baik, maka orang itu akan mendapatkan kesehatan yang baik dan dihormati orang.”
Menurut Saipudin, paranormal yang cukup kondang dengan berbagai kreasi bentuk jimat, apa yang dinamakan sebagai jimat buatan memang sengaja “diisi” dengan kekuatan gaib lewat ritual tertentu. Dengan disertai doa dan niat tertentu, kekuatan itu akan mengalir ke dalam benda yang menjadi sarana jimat.
“Pengisian kekuatan gaib pada benda-benda tersebut harus dengan laku (tirakat). Misalnya, dengan bertapa seperti dilakukan para empu zaman dulu. Atau kadang saya mengisinya dengan cara melakukan wirid dan riyadhoh, dengan disertai puasa selama empat puluh hari,” tambah Saipudin
Jimat buatan memang dibikin oleh ahlinya dengan cara mencurahkan pikiran dan kekuatannya pada suatu benda sehingga menghasilkan energi gaib yang luar biasa. “Khasiat jimat, terutama jimat buatan, sangat tergantung pada niat saat pengisian,” tegas Saipudin.
Ada anggapan awam bahwa setiap benda bisa “diisi” atau dijadikan sebagai jimat. Oleh Saipudin hal ini dianggap kurang tepat. Dengan mengutip penjelasan yang terdapat dalam Kitab Mamba’u Usulil Hikmah, dia menyebutkan hanya ada empat macam benda yang bagus dijadikan sebagai media jimat. Keempat macam benda tersebut, adalah: kain, kertas, logam (terutama emas, perak, besi, dan timah), dan kulit binatang (harimau dan kijang).
Pemilihan media jimat tersebut tentu saja harus disesuaikan dengan maksud dan tujuan pembuatan jimat. “Sebagai contoh, untuk membuat jimat pelarisan bisnis atau usaha itu sangat baik bila menggunakan media kain atau logam berupa perak atau besi. Sementara untuk kadigdayaan, sangat baik jika menggunakan media berupa kulit binatang, harimau atau kijang,” papar Saipudin.

Khasiat Jimat
Benarkah sebuah jimat dapat berkhasiat? Atau mungkin khasiat itu muncul akibat sugesti semata? Lantas, apakah benar menggunakan jimat itu secara hukum agama (Islam) dikatakan sebagai syirik?
Untuk menjawab berbagai pertanyaan di atas, yang selama ini menjadi kontroversi di kalangan masyarakat awam, sebelumnya marilah kita simak kisah berikut ini, yang kami nukilkan dari Kitab Kisosul Anbiya….
Seperti diketahui, atas ijin Allah, Nabi Sulaeman AS bisa melakukan hal-hal yang sangat luar biasa. Dia bisa memerintah bangsa jin, menundukkan angin, berdialog dengan berbagai jenis binatang, dan lain sebagainya. Berkat kemampuannya yang maha luas ini, Sulaeman menjadi seorang raja yang kaya raya, dan mendapat pengakuan baik oleh bangsa manusia maupun bangsa jin. Kendati demikian dia selalu memerintah dengan adil dan bijaksana.
Untuk melancarkan roda pemerintahan yang dipimpinnya, Sulaeman didampingi oleh dua orang perdana menteri. Masing-masing adalah Asip Bin Barkhoya yang berasal dari bangsa manusia, dan Istirohi yang berasal dari bangsa jin.
Tanpa sepengetahuan Sulaeman, Istirohi sesungguhnya sudah sejak lama ingin mengetahui apakah yang menjadi sumber kekuatan sang nabi. Sebagai jin yang licik dan licin, dia selalu kasak-kusuk mencari rahasia itu, sampai akhirnya dia pun mengetahui bahwa sumber kekuatan Nabi Sulaeman terdapat pada cincin kesayangannya. Cincin ini memang tak pernah lepas dari jari manis Sulaeman.
Istirohi tak pernah berhenti mencari akal untuk mencuri cincin ini. Sampai suatu ketika mimpinya itu menjadi kenyataan.
Dikisahkan, suatu ketika saat Nabi Sulaeman sedang mandi di kolam pemandian raja, tanpa curiga ada yang memiliki niat jahat pada dirinya, dia meletakkan cincin kesayangannya itu di atas batu yang ada di tepian kolam. Ketika itulah Istirohi mencurinya. Dia kemudian segera pergi ke ruangan sang raja. Begitu memakai cincin tersebut, maka menjelmalah Istirohi sebagai Sulaeman yang agung dan perkasa.
Lantas, apa yang terjadi dengan Nabi Sulaeman?
Dikisahkan, setelah kehilangan cincinnya maka dia pun kehilangan semua kekuatan dan keperkasaan yang ada pada dirinya selama ini. Bahkan, tak ada seorang pun dari hamba dan rakyatnya yang mengenali siapa dia yang sesungguhnya. Ya, Sulaeman benar-benar berubah menjadi orang biasa, rakyat jelata.
Ringkas cerita, Sulaeman akhirnya terusir dari kerajaannya sendiri. Dia mengembara dan hidup sangat miskin. Bahkan untuk sekedar makan saja sulit untuk mendapatkannya.
Sampai suatu ketika, tibalah Sulaeman di sebuah pesisir. Di sana, dia melihat seorang nelayan tengah menarik dan melepas ikan-ikan dari jalanya. Karena didorong oleh rasa lapar, Sulaeman menawarkan diri untuk membantu si nelayan. Si nelayan tidak keberatan, namun dia hanya bisa memberikan satu ekor ikan kepada Sulaeman sebagai upah dari jerih payahnya.
Tidak diceritakan berapa lama Sulaeman membantu nelayan tua itu. Namun disebutkan, karena terpesona oleh keluhuran budinya, maka si nelayan akhirnya menikahkan Sulaeman dengan salah seorang putrinya.
Begitulah, Sulaeman menjalani kehidupan sebagai seorang nelayan….
Sementara itu, setelah Nabi Sulaeman kehilangan cincinnya, maka Istirohi-lah yang menguasai seluruh kerajaannya. Dengan cincin sakti itu, Istirohi benar-benar menjadi Sulaeman baik secara fisik maupun kekuatannya. Hanya satu hal yang membuat hamba dan rakyatnya merasa heran. Sulaeman tak lagi memerintah dengan adil dan bijaksana.
Sebagai sosok perdana menteri yang cakap dan andal, Asip Bin Barkhoya menaruh curiga pada sang raja yang telah berubah. “Mengapa Baginda Sulaeman menjadi tidak adil? Bukankah dia bukan hanya raja, tapi juga nabi yang harus berbuat adil kepada ummatnya?”
Kira-kira demikianlah kecurigaan Asip Bin Barkhoya. Dia merasa yakin bahwa yang memerintah saat itu bukanlah Sulaeman yang sebenarnya.
Akhirnya, Asip Bin Barkhoya mengadakan sebuah rapat rahasia dengan para ponggawa kerajaan lainnya. Ternyata, semuanya memiliki kecurigaan yang sama. Namun masalahnya, bagaimana cara membuktikan kecurigaan itu.
Setelah melakukan dialog, Asip Bin Barkhoya tiba pada suatu kesimpulan bahwa untuk membuktikan yang duduk di singgasana adalah Sulaeman palsu, maka harus diadakan pembacaan Kitab Zabur di dalam istana. Semua menyetujui usulan ini.
Pada hari yang telah ditentukan, saat Sulaeman palsu masih lelap di peraduan, sebuah majelis akbar digelar untuk membacakan Kitab Zabur. Apa yang terjadi?
Saat ayat-ayat Zabur berkumandang maka kepanasanlah seluruh tubuh Sulaeman palsu alias Istirohi. Dia menjerit-jerit kesakitan. Semakin keras Zabur dibaca, maka Istirohi pun semakin kesakitan, bahkan kemudian tubuhnya terlempar ke angkasa dan cincin sakti milik Nabi Sulaeman itu terlepas dari jari manisnya.
Dikisahkan, setelah terlepas dari tangan Istirohi cincin itu kemudian jatuh ke tengah samudera dan dimakan oleh seekor ikan. Ikan ini kemudian tertangkap oleh jala Nabi Sulaeman AS yang telah menjadi nelayan. Tanpa curiga, Sulaeman membawa ikan ini ke rumahnya. Saat isterinya membersihkan ikan tersebut, maka di dalam perut ikan ditemukanlah cincin sakti miliknya yang telah lama hilang.
Akhir dari cerita ini tentu sudah dapat diduga. Sulaeman memakai cincin sakti itu, dan dia kembali seperti sediakala….
Kisah tersebut jelas merupakan ujian Allah atas kenabian Sulaeman AS. Di samping itu, ada hal yang dapat disandingkan dengan pembahasan kita mengenai kesaktian sebuah jimat. Bahwa, Allah SWT memang berkehendak memberi kekuatan kepada benda-benda tertentu. Salah satunya, seperti pada cincin Nabi Sulaeman sebagaimana dikisahkan tadi.
Lalu, simak pula kisah kemukjizatan tongkat Nabi Musa AS yang dapat membelah lautan. Intinya, benda apa saja dapat memiliki kekuatan tersendiri atas ijin Allah SWT. Dalam lingkup yang lebih kecil, tidaklah mustahil atau bahkan diklaim sebagai takhayul bahwa jimat-jimat itu juga mengandung suatu kekuatan.
Baik cincin atau tongkat pada kisah Sulaeman dan Musa tentu saja kedua benda tersebut hanyalah media. Hal yang sama tentunya berlaku juga pada jimat. Ya, jimat, apa pun bentuknya, hanyalah sebuah media. Sementara kekuatan yang ada di dalamnya mutlak dari dan berasal dari Allah SWT. Karena itu, apakah seorang yang memegang jimat harus dianggap syirik?
“Tentu saja semua itu tergantung pada keyakinan masing-masing. Namun menurut hemat saya, hal tersebut harus kita kembalikan pada proses pembuatannya. Jika proses pembuatannya bersendikan pada Al Qur’an dan hadits, menurut hemat saya tentu tidak perlu dipermasalahkan,” komentar Saipudin menanggapi pertanyaan di atas.
Lebih lanjut diuraikan olehnya bahwa cara membuat jimat, mulai dari pemilihan bahan hingga proses penulisannya sesungguhnya tidak semudah seperti yang dibayangkan. Untuk menulis jimat misalnya, perlu diketahui rumusannya.
“Sama seperti matematika, penulisan jimat juga ada rumusnya. Jadi, tidak boleh sembarangan,” tegas Saipudin.
Seperti halnya Aljabar, menulis jimat juga mengenal perhitungan. Sebagai contoh, jika ingin membuat jimat dengan mencantumkan lafadz Asma’ul Husna yang jumlah nilainya 35 dengan memasukkannya ke dalam 8 kolom, maka kedua pertemuan sudut harus menghasilkan jumlah angka yang sama yakni 35. Demikian juga angka-angka pada kotak yang di tengah harus berjumlah 35 juga (lihat contoh kolom jimat).
“Mengapa harus seperti ini? Nah, ini tidak bisa dicarikan penjelasannya, sebab sudah pakem dari para ahli Ilmu Hikmah memang seperti itu,” urai Saipudin.
Di dalam pakem yang sama, juga telah ditetapkan aturan penulisan kolom-kolom pada jimat, yakni dimulai dari 4, 5, 6, dan 8. Ada juga yang 13 kolom, namun ini jarang digunakan karena tingkat kesulitannya. Masing-masing dari jumlah kolom tersebut juga memiliki nama tersendiri. Contohnya, yang 4 kolom disebut Murobba’, 5 kolom Mukhommas, dan yang 6 kolom disebut Musaddas.
Sementara itu, menyangkut waktu penulisan jimat digunakan dua rumus sekaligus, yakni rumus hari dan jam. Dijelaskan oleh Saipudin, kedua rumusan ini penting dipakai karena pada masing-masing hari ada rahasianya tersendiri. Menyangkut jam yang baik disebut sebagai Sa’at Sa’idah.
“Dalam pakem Ilmu Hikmah, setiap hari itu dijaga oleh nabi, malaikat dan jin yang berbeda. Rumusan ini sudah ada sejak ribuan tahun silam, hanya saja jarang diungkap. Mungkin, hanya para santri yang pernah belajar di pondok pesantren salafiyah (tradisional) yang mempelajarinya. Hal itupun sangat jarang diajarkan Kyai, kecuali kepada para santri senior yang sudah mesantren puluhan tahun,” papar Saipudin.
Terkait dengan rumus hari dan Sa’at Sa’idah, sebagai contoh disebutkan Saipudin:
- Hari Minggu: Nabinya Isya, Malaikatnya Rupayail, Jinnya Maimun, Sa’at Sa’idah pukul 10.
- Hari Senin: Nabinya Muhammad, Malaikatnya Jibroil, Jinnya Maroot, Sa’at Sa’idah pukul 10
- Hari Selasa: Nabinya Sulaiman, Malaikatnya Samsamail, Jinnya Ahmar, Saat Sa’idah tidak ada (hari kurang baik).
“Demikian seterusnya setiap hari dijaga oleh nabi, malaikat, dan jinnya masing-masing. Ibaratnya, mereka inilah yang kena giliran piket,” tambah Saipudin.
Karena hari memiliki watak yang berbeda-beda, maka untuk penulisan jimat harus disesuaikan dengan tujuan dan harinya. Kalau untuk pelarisan dan efek psikologis lainnya sangat baik dibuat pada hari Minggu, Senin, Kamis, dan Jum’at. Sedangkan untuk tujuan kadigdayaan dan efek fisik sebaiknya dibuat pada hari Selasa atau Sabtu.
Menserasikan karakter hari dengan perhitungan nilai/neptu nama si pemakai jimat merupakan hal yang sangat penting agar jimat dapat menunjukkan keampuhannya. “Ini tak beda dengan rumusan Fengshui atau Numerologi,” tandas Saipudin lagi.
Dalam penulisan atau pembuatan jimat kerap kali ditemukan ayat-ayat Qur’an atau lafadz-lafadz Asma’ul Husna. Karena itu tak mengherankan bila banyak kalangan ulama (terutama Ulama Fiqih) menuding hal ini sebagai tindakan yang diharamkan. Menurut Saipudin, tuduhan seperti ini wajar saja. Salah satu alasannya, ditakutkan ayat Qur’an atau lafadz-lafadz tersebut dibawa ke suatu tempat yang kotor. Misalnya saja tempat maksiat.
“Nah, untuk mensiasati hal tersebut, para ahli Ilmu Hikmah memiliki kiat tersendiri,” tanggap Saipudin. Kiat yang dimaksudkannya, adalah:
1. Mengganti huruf-huruf dalam lafadz dengan angka atau nilai dari huruf-huruf tersebut. Contohnya: Menggantikan lafadz Allah (dalam huruf Arab/Hijaiyah) dengan angka atau nilai dari huruf-huruf Alif, Lam, Lam, dan H. Jadi dalam jimat bisa ditulis: 1, 30, 30, 5 (dalam angka Arab). (Daftar nilai huruf-huruf Hijaiyah lihat ilustrasi).
2. Menuliskan ayat dengan cara memotongnya dengan kolom.

Harga diri, identitas sosial dan konflik antar kelompok

Indonesia mencatat puluhan bahkan ratusan perselisihan antar kelompok etnik sejak berdirinya. Meskipun demikian hanya beberapa yang berskala luas dan besar. Selain konflik antara etnik-etnik yang digolongkan asli Indonesia dengan etnis Cina yang laten terjadi, konflik antar etnik yang terbesar diantaranya melibatkan etnik Madura dengan Etnik Dayak di Kalimantan yang terkenal dengan tragedi Sambas dan tragedi Sampit. Konflik-konflik dalam skala lebih kecil terjadi hampir setiap tahun di berbagai tempat di penjuru tanah air.


Tentunya sebagaimana konflik lain, mencari akar penyebab konflik antar etnik merupakan kunci dalam upaya meredam konflik dan mencegah terulangnya kembali konflik serupa. Berbagai perspektif telah memberikan pandangannya, baik itu perspektif politik, ekonomi, sosiologi, antropologi, psikologi, hukum, dan lainnya. Berbagai sebab konflik telah pula diidentifikasi. Salah satu sebab yang sering ditemukan dalam konflik antar etnik adalah prasangka antar etnik. Dalam bagian ini akan diketengahkan bagaimana peranan prasangka dalam konflik antar etnik.

Apakah konflik?

Apakah konflik? Lebih spesifik apakah konflik antar etnik? Menurut Hocker dan Wilmot (dalam Isenhart dan Spangle, 2000) konflik adalah ekpresi perjuangan diantara minimal dua belah pihak yang saling tergantung untuk mencapai tujuan tertentu, dimana dua pihak itu merasa tidak memiliki kesamaan tujuan, memperebutkan sumber daya yang langka, dan merasa adanya campur tangan pihak lain dalam upaya pencapaian tujuan. Definisi konflik diatas mencakup segala tindakan yang merupakan efek dari perjuangan mencapai tujuan, seperti saling memaki atau permusuhan verbal, menghindari pertemuan, perkelahian, perang, dan lainnya. Konflik bisa dalam skala besar bisa juga kecil. Memaki pihak lawan ketika bertemu di jalan mungkin hanya merupakan konflik skala kecil. Tapi itupun tergantung konteksnya, karena kalau yang bertemu dan saling memaki itu merupakan pemimpin dua belah pihak yang sedang berkonflik, efeknya bisa sangat besar.

Kita semua hampir selalu mengidentikkan konflik dengan pertentangan. Akan tetapi pertentangan tidak selalu bermakna konflik. Tidak semua pertentangan menciptakan konflik. Pertentangan yang terjadi antara dua pihak dalam forum diskusi misalnya, jarang sekali menimbulkan konflik. Menurut Gurr (1980) kriteria agar sebuah pertentangan bisa dikatakan sebagai sebuah konflik adalah :
Sebuah konflik melibatkan minimal dua pihak atau lebih.
Pihak-pihak tersebut saling tarik menarik dalam aksi saling memusuhi
Mereka cenderung menjalankan perilaku koersif untuk menghadapi dan menghancurkan pihak lawan
Hubungan pertentangan diantara pihak-pihak itu berada dalam keadaan yang tegas karena peristiwa pertentangan itu dapat dideteksi dengan mudah oleh para pengamat yang tidak terlibat dalam pertentangan.
Konflik antar etnik berarti dua pihak yang berlawanan adalah dua atau lebih kelompok etnik. Dalam konflik itu sendiri bisa saja pelakunya mengatasnamakan etnik dan bisa juga tidak. Demikan juga lawan dalam konflik bisa disebutkan mengatasnamakan etnik bisa juga tidak. Dalam kasus konflik antara etnik Madura dan etnik Dayak, jelas sekali mereka membawa bendera etnik. Pada kerusuhan Mei 1998 di Jakarta dan berbagai kota besar lainnya, tampak sekali bahwa sasaran kerusuhan adalah etnik Cina, sementara pelakunya etnik mana tidak jelas. Namun demikian, kerusuhan Mei di Jakarta, tetap bisa disebut konflik antar etnik, karena setidaknya salah satu pihak bisa diidentifikasi sebagai etnik mana.

Seringkali terjadi segerombolan pemuda etnik tertentu berkelahi dengan gerombolan pemuda etnik lain karena memperebutkan seorang gadis. Apakah hal ini juga bisa disebut konflik antar etnik? Apabila tidak melibatkan struktur dalam etnik masing-masing dalam konflik, maka perkelahian itu tidak bisa disebut konflik antar etnik. Perkelahian disebut perkelahian antar etnik bila telah membawa identitas etnik masing-masing.

Sumber konflik antaretnik

Konflik bisa disebabkan oleh suatu sebab tunggal. Akan tetapi jauh lebih sering konflik terjadi karena berbagai sebab sekaligus. Kadangkala antara sebab yang satu dengan yang lain tumpang tindih sehingga sulit menentukan mana sebenarnya penyebab konflik yang utama. Faturochman (2003) menyebutkan setidaknya ada enam hal yang biasa melatarbelakangi terjadinya konflik, 1) Kepentingan yang sama diantara beberapa pihak, 2) Perebutan sumber daya, 3) Sumber daya yang terbatas, 4) Kategori atau identitas yang berbeda, 5) Prasangka atau diskriminasi, 6) Ketidakjelasan aturan (ketidakadilan). Sementara itu, Sukamdi (2002) menyebutkan bahwa konflik antar etnik di Indonesia terdiri dari tiga sebab utama: (1) konflik muncul karena ada benturan budaya, (2) karena masalah ekonomi-politik, (3) karena kesenjangan ekonomi sehingga timbul kesenjangan sosial. Menurutnya konflik terbuka dengan kelompok etnis lain hanyalah merupakan bentuk perlawanan terhadap struktur ekonomi-politik yang menghimpit mereka.

Bisa kita lihat, bahwa apa yang dikemukakan Sukamdi di atas merupakan turunan dari apa yang disampaikan faturochman mengenai penyebab konflik. Benturan budaya antar etnik terjadi karena adanya kategori atau identitas sosial yang berbeda. Perbedaan identitas sosial, dalam hal ini etnik dan budaya khasnya, seringkali menimbulkan etnosentrisme yang kaku, dimana seseorang tidak mampu keluar dari perspektif yang dimiliki atau hanya bisa memahami sesuatu berdasarkan perspektif yang dimiliki dan tidak mampu memahami perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya. Sikap etnosentrik yang kaku ini sangat berperan dalam menciptakan konflik karena ketidakmampuan orang-orang untuk memahami perbedaan. Sebagai tambahan, pengidentifikasian kuat seseorang terhadap kelompok cenderung akan menyebabkan seseorang lebih berprasangka, halmana juga merupakan sumber konflik yang potensial. Terkait dengan resolusi konflik, karena konflik dimunculkan salah satunya karena adanya identitas budaya, yang mengandaikan adanya perbedaan dalam memahami realitas, maka sangatlah penting untuk membuat suatu resolusi konflik yang mempertimbangkan asal budaya (Kumolohadi & Andrianto, 2002). Seringkali pelaksana resolusi konflik gagal menjalankan perannya dalam menghentikan konflik antaretnik karena metode yang dipakai mengharuskan adanya sikap dan persepsi tertentu dari mereka yang bertikai, tapi sementara itu mereka yang bertikai memiliki sikap dan persepsi terhadap konflik yang beragam akibat perbedaan budaya.

Persoalan ekonomi sebagai penyebab konflik antar etnik merupakan sesuatu yang tak terbantah, meskipun tentu tidak semua konflik antar etnik ditimbulkan karena persoalan ekonomi belaka. Ketersediaan sumber daya ekonomi di suatu wilayah menjadi indikator penting bagi kemungkinan terjadinya konflik. Semakin mudah sumber daya itu didapatkan oleh setiap orang, maka kemungkinan konflik juga semakin rendah. Sebaliknya semakin langka sumber daya yang tersedia sehingga terjadi kompetisi untuk mendapatkan sumber daya maka kemungkinan terjadinya konflik semakin besar. Persoalan ekonomi juga menyangkut distribusi sumber daya. Ketidakjelasan aturan dalam kompetisi memperebutkan sumber daya merupakan sumber konflik yang potensial. Dalam hal ini ketidakjelasan aturan bisa dimaknai sebagai kemungkinan terjadinya ketidakadilan. Adanya kesenjangan sosial sebagai akibat adanya kesenjangan ekonomi yang besar merupakan cerminan dari adanya ketidakadilan dalam distribusi sumber daya. Bila terjadi kesenjangan yang besar antar berbagai kelompok etnik maka kemungkinan terjadinya konflik juga semakin besar, karena perasaan ketidakadilan akan mendorong timbulnya semangat perlawanan.

Sementara itu peranan politik dalam konflik antar etnik berkaitan dengan adanya pihak-pihak yang memiliki kepentingan terhadap adanya konflik. Haryanto (2002) menunjukkan bahwa konflik sosial yang terjadi di Indonesia salah satu akar permasalahannya adalah adanya faktor pemicu, selain faktor adanya deprivasi antar kelompok masyarakat dan faktor dominasi sosial, politik, dan agama. Faktor pemicu konflik antar etnik mungkin dimunculkan secara sengaja oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Penguasaan sumber daya tertentu yang diinginkan oleh beberapa pihak mungkin menjadi salah satu sebab yang membuat pihak-pihak yang terlibat menggunakan konflik antar etnik sebagai jalan untuk memenangkan persaingan. Hal ini bisa dilihat dari siapa yang mendapatkan keuntungan dari adanya konflik.

Faktor pemicu dengan sendirinya mengandaikan telah adanya faktor-faktor yang potensial mencipta konflik. Berbagai sebab konflik seperti yang dikemukakan Faturochman diatas, diandaikan telah ada dalam masyarakat. Dalam hal ini faktor prasangka merupakan determinan penting. Semakin besar prasangka antar etnik yang timbul maka semakin sedikit faktor pemicu yang diperlukan untuk menciptakan konflik antar etnik secara terbuka. Faktor prasangka sendiri seperti yang telah dibahas dalam bab tiga, bisa dimunculkan oleh lima sebab lainnya. Sehingga sangat beralasan kalau dinyatakan bahwa prasangka merupakan sumber konflik antar etnik terbesar.

Konflik antar etnik yang paling sering terjadi di Indonesia melibatkan etnik Cina sebagai korban, dan etnik lainnya sebagai pemegang inisiatif. Beberapa konflik menunjukkan skala yang luas dan berat, sementara yang lain berskala lebih kecil dan lokal. Menurut Arifin (1998) konflik antar etnik yang melibatkan etnik Cina tidak banyak terkait dengan dengan soal rasial dan pengakuan masyarakat terhadap mereka. Hal ini terlihat dari kenyataan, bahwa pada umumnya sasaran kerusuhan dan amuk massa berbentuk perusakan, penjarahan, dan pembakaran terhadap hak milik, dan bukan dalam bentuk rasa permusuhan terhadap etnis Cina, dan pembunuhan jiwa. Setelah tahun 70-an kerusuhan lebih banyak terkait dengan persoalan sosial, ekonomi, dan politik. Misalnya kerusuhan di Medan (1995), di Situbondo (1996), di Jakarta (14-15 Mei 1998) dan di Solo (1998) lebih dipicu oleh persoalan dominasi ekonomi dan kolusi oleh kelompok-kelompok elit WNI etnis Cina dengan kekuasaan.

Memang tidak dapat dipungkiri bahwasanya etnis Cina merupakan penggerak perekonomian Indonesia yang utama. Mereka menguasai sebagian besar sektor perekonomian sehingga memiliki sumber daya ekonomi paling besar. Sayangnya, keberhasilan etnis Cina itu tidak berbarengan dengan keberhasilan etnis lain dalam mencapai kemakmuran. Dalam bahasa ekstrim, etnis Cina merupakan pemenang kompetisi perebutan sumber daya sementara etnis lain sebagai pihak yang dikalahkan. Sayangnya pula kesenjangan ekonomi antara etnis Cina dan etnis lain cukup besar, bahkan makin melebar dari waktu ke waktu. Kenyataan ini mendorong adanya deprivasi relatif, dimana seseorang merasa tidak mendapatkan kemakmuran yang ingin dicapai meskipun telah berupaya keras mendapatkan (menurutnya). Deprivasi ini, sebagaimana yang telah kita lihat, merupakan sumber dari adanya prasangka dan konflik. Jadi, etnik bukanlah merupakan sumber konflik. Kesenjanganlah yang menjadi sumber konflik utama halmana telah memunculkan prasangka, sedangkan etnik sebagai sebab-sebab yang memadai.

Selain adanya pihak-pihak tertentu yang sengaja memobilisasi massa untuk melakukan perusuhan terhadap etnis Cina (disinyalir kerusuhan Mei 1998 di Jakarta massa di kerahkan pihak-pihak tertentu demi kepentingan tertentu. Baca “Kapok Jadi Nonpri’, terbitan Zaman Wacana Mulia). Nampaknya jelas bahwa kerusuhan yang melibatkan etnis Cina lebih merupakan persoalan ekonomis. Adapun dari persoalan-persoalan ekonomi itu terciptalah berbagai prasangka yang menciptakan jarak sosial yang lebar antar etnis. Dan dalam konflik, prasangka digunakan untuk menjustifikasi tindakan destruktif yang dilakukan terhadap etnis Cina.

Siahaan (2002) menunjukkan bahwa berbagai prasangka, generalisasi, stereotip, serta tuduhan yang secara konvensional dialamatkan kepada etnik Cina ternyata tidak selalu faktual (tidak didukung fakta). Terbukti bahwa segala asumsi dan tesis mengenai Cina di tingkat makro (nasional) tidak selalu koheren dengan realitas lapangan (lokal). Misalnya dalam tingkat makro selalu didengung-dengungkan etnis Tonghoa bertindak secara eksklusif dan tidak mau bergaul dengan etnis lain, pada kenyataannya di tingkat lokal justru banyak sekali etnis Cina yang sudah sulit dibedakan identitas kecinannya. Mereka melebur dalam masyarakat secara keseluruhan.

Dalam sebuah penelitian di Kalimantan Barat, Siahaan (2002) menemukan bahwa secara empiris terbukti bahwa sukses dan dominasi ekonomi Cina bukan merupakan fungsi ras serta bakat, dan juga bukan semata-mata berkait konsesi dan privilese, tetapi hasil pemanfaatan peluang setempat secara tepat, cepat, efisien, dan efektif. Dalam sejarah, semangat dan etos kerja, daya juang, dan keuletan perantau cenderung menjadi determinan yang memungkinkan keunggulan dan keberhasilan kelompok perantau itu di atas penduduk lokal. ‘Keterasingan dan kesendirian’ sang perantau di negeri seberang, jauh dari sanak saudara dan sahabat yang dapat dimintai bantuan, lebih besar peranannya sebagai pendukung motivasi dan semangat kerja daripada faktor-faktor bawaan seperti bakat, budaya, dan ras.

Namun sementara itu prasangka yang berkembang terhadap mereka, beberapa juga melandaskan pada kesuksesan yang diraih etnis Cina. Seperti misalnya berkembang anggapan bahwa dalam berbisnis etnis Cina sering bermain curang dan suka menyuap pihak penguasa untuk mendapatkan konsesi ekonomi. Halmana membuat mereka cepat sekali sukses. Lalu jika ada etnis Cina datang untuk berbisnis di suatu wilayah, maka segera akan mendatangkan rekan-rekannya sesama etnis Cina untuk berbisnis di daerah itu dan akan mematikan bisnis warga setempat. Maka akibatnya dibanyak tempat bisa ditemui dimana etnis Cina dilarang melakukan perdagangan.

Sebenarnya konflik antar etnis yang melibatkan etnis Cina sesuatu yang memang sangat mungkin terus terjadi bahkan untuk waktu-waktu mendatang. Menurut analisis Amy Chua, seorang profesor dari Yale University, dimana ada sekelompok minoritas etnis yang mendominasi pasar dan sekaligus ada sistem politik yang menganut demokrasi, bisa diramalkan akan terjadi serangan terhadap kelompok minoritas Menurutnya terjadinya konflik bukan persoalan membaur atau tidak membaurnya etnik minoritas dengan etnik mayoritas, sebagaimana yang secara konvensional kita pahami. Masalahnya ada pada terdapatnya market-dominant minorities, yaitu keberadaan kelompok minoritas yang kaya raya yang memperolehnya berkat ekonomi pasar. Sistem pasar pada saat ini sudah menjadi semacam dogma yang tidak boleh dilanggar. Akan tetapi, justru sistem yang dipuji-puji inilah yang melahirkan sekelompok kecil yang kebetulan adalah kelompok minoritas etnis yang memiliki kekayaan menonjol. Oleh karena hal itu tumbuhlah iri hati kelompok mayoritas. Lalu bagaimana menyalurkan kemarahan itu? Lewat proses demokrasi. Dalam sistem demokrasi, kemenangan kelompok mayoritas dijamin ketika berhadapan dengan kelompok minoritas. Maka, tidak mengherankan justru ketika proses demokratisasi dimulai, dimulai juga serangan terhadap kelompok market-dominant minorities (untuk Indonesia etnis Cina). Kemenangan kelompok mayoritas dalam pemilu menjadi legitimasi untuk menetapkan kebijakan dan peraturan yang membatasi, bahkan memangkas hak-hak dari kelompok market-dominant minorities. Padahal demokrasi merupakan dogma wajib pada saat ini. Kesimpulannya, selama sistem ekonomi pasar dan demokrasi secara bersamaan diterapkan maka kekerasan terhadap market-dominant minorities akan terus berlanjut. Untuk konteks Indonesia, etnis Cina diramalkan akan terus menghadapi tantangan kekerasan terhadap mereka (Paragraf ini meringkas dari Review Buku Prof. Amy Chua, oleh I Budiman dalam kompas 20 maret 2004, h.45).

Setelah membahas konflik antar etnik yang terkait dengan etnik Cina, sekarang kita akan membicarakan konflik antar etnik yang paling besar yang pernah terjadi di Indonesia, yakni konflik antara etnik Dayak dan etnik Madura di Kalimantan beberapa tahun lalu (tragedi Sambas dan Sampit), dimana ribuan orang terbunuh dan puluhan ribu lainnya harus menjadi pengungsi di negerinya sendiri. Hidayah (2002) menyebutkan bahwa sebenarnya pemantik konflik hanya disebabkan oleh perkelahian antar pemuda etnis dayak dengan etnis madura. Akan tetapi karena dalam perkelahian itu ada yang terbunuh maka muncullah solidaritas dan balas dendam kesukuan karena pada konflik tersebut terjadi pembunuhan, dan kemudian diperkuat pula oleh prinsip-prinsip adat sehingga konflik menjadi berkepanjangan dan membawa korban yang luar biasa besar.

Banyak analisis telah dilakukan untuk mencari tahu akar dari adanya konflik. Selain analisis yang menunjukkan adanya pihak-pihak tertentu yang sengaja mengorganisir terjadinya kekerasan, ada banyak analisis lain yang mendasarkan pada berbagai perspektif. Sebuah analisis menyimpulkan bahwa terjadinya perebutan sumber daya ekonomi yang semakin terbatas yang telah menyebabkan terjadinya konflik. Dulu saat sumber daya ekonomi cukup melimpah dan mudah didapatkan maka konflik terhindarkan. Akan tetapi begitu sumberdaya ekonomi semakin terbatas dan semakin banyak orang memperebutkannya maka terjadilah kompetisi perebutan sumberdaya. Sebagai konsekuensi logis dari adanya kompetisi perebutan sumber daya adalah terciptanya prasangka antar etnik. Dan lalu adanya prasangka terhadap etnik lain menjadi justifikasi kekerasan terhadap etnik tersebut.

Sebagai lanjutan dari analisis diatas, analisis lain menunjukkan bahwa adanya kesenjangan ekonomi antara etnis Dayak dan etnis Madura sebagai penyebab konflik. Kesenjangan ekonomi itu tercipta sebagai konsekuensi dari adanya kompetisi perebutan sumberdaya ekonomi dimana relatif etnis Madura memenangkannya. Namun menurut Purbangkoro (2002) kondisi sosial ekonomi etnik Madura dan etnik lain relatif sama sehingga tak ada alasan yang menyatakan telah terjadi kecemburuan sosial antara etnik Dayak dan etnik Madura di Kalimantan.

Sementara itu Asykien (2001) menunjukkan bahwa konflik antar etnik itu terjadi karena sifat negatif keduanya. Sifat-sifat kurang terpuji etnik Dayak : 1) Fanatis dan mendewakan kesukuan, 2) tidak punya tenggang rasa dan pendengki etnis yang dimusuhi, 3) menggeneralisasikan kesalahan orang-perorang kepada keseluruhan etnis, 4) melestarikan budaya mengayau, 5) suka menyebarluaskan kebencian dan prasangka buruk. Sedangkan sifat-sifat etnik Madura yang menimbulkan dendam etnik lain : 1) mencuri, menjambret, dan menipu, 2) menempati tanah orang lain tanpa izin, 3) membuat kekacauan dalam perjudian, 4) melanggar lalu lintas, 5) merampas milik etnik lain di penambangan emas. Dari sifat-sifat negatif yang diklasifikasikan Asykien diatas menjadi jelas bahwasanya pertentangan antar etnis merupakan kulminasi dari adanya prasangka etnik. Berbagai keburukan anggota etnik lain dicatat, disimpan, dan digunakan sebagai dasar dalam bergaul dengan etnik tersebut, meskipun toh sebetulnya pelakunya hanyalah segelintir orang saja. Rupa-rupanya generalisasi sifat-sifat buruk seseorang menjadi sifat-sifat buruk kelompok yang telah menjadi penyebab berkembangnya prasangka etnik di Kalimantan. Akibatnya kesalahan satu orang atau kelompok kecil orang juga digeneralisasikan ke keseluruhan etnik. Seterusnya konflik antar etnik tinggal menunggu saat yang tepat.

Sekarang kita akan mencoba melihat kasus Ambon yang juga berskala besar pada tahun-tahun awal reformasi. Pertikaian yang membawa ribuan korban itu bermula dari isu etnis yang kemudian berkembang menjadi isu keagamaan sehingga tidak kunjung selesai hingga hari ini. Sebelum terjadi konflik, praktis kehidupan ekonomi di Ambon dikuasai oleh tiga etnis yaitu Buton, Bugis, dan Makassar, yang notabene merupakan etnis pendatang dari Sulawesi, sementara itu orang Ambon sendiri kurang memiliki peranan dalam bidang ekonomi. Keadaan demikian mudah saja kita mengerti bila menimbulkan konflik antar etnik. Sebab pertama mungkin adalah timbulnya deprivasi orang Ambon dimana mereka merasa kalah di tanah sendiri oleh pendatang. Sebab kedua, munculnya prasangka mayoritas-minoritas, sebagaimana yang juga terjadi di berbagai tempat lain di Indonesia terhadap etnis Cina. Prasangka muncul karena etnis Buton, Bugis, dan Makassar sebagai minoritas menguasai perekonomian di Ambon. Sebab ketiga, munculnya faktor pemicu, yakni dihembuskannya isu keagamaan oleh pihak-pihak tertentu dalam isu etnisitas. Di Ambon ternyata etnisitas tumpang tindih dengan keagamaan. Etnis Bugis, Buton dan Makassar notabene beragama Islam dan orang Ambon umumnya beragama kristen.

Pengusiran etnis Bugis, Buton dan Makassar (BBM) dari Ambon oleh orang-orang Ambon asli pada awalnya boleh jadi hanya dipicu oleh persoalan etnisitas belaka, mirip dengan pertikaian antara etnis Madura dan Dayak di Kalimantan. Namun jika hanya persoalan etnisitas tentunya begitu etnis Bugis, Buton dan Makassar keluar dari Ambon maka selesailah sudah permasalahan di Ambon. Faktanya, konflik di Ambon justru semakin menghebat. Setelah etnis Bugis, Buton dan Makassar keluar dari Ambon, kemudian yang berkonflik adalah orang Ambon yang beragama Islam kontra orang Ambon yang beragama kristen. Selanjutnya, konflik itu terus menerus membesar dan dilabeli konflik antar agama. Secara gampang bisa dikatakan bahwa konflik antar agama di Ambon muncul sebagai bentuk solidaritas agama. Tatkala etnis Bugis, Buton, dan Makassar yang beragama Islam terusir oleh orang Ambon yang beragama Kristen, lalu muncullah rasa solidaritas sesama muslim pada orang Ambon yang beragama Islam. Akibatnya kemudian pertikaian yang terjadi adalah antara penganut agama Islam dan agama Kristen.

Akibat konflik yang luas dan merusak antara penganut agama, muncullah prasangka masing-masing pihak terhadap pihak lain, halmana menyulitkan upaya rekonsiliasi. Prasangka inilah yang terus-menerus, sampai saat ini, menyebabkan potensi konflik antar agama di Ambon tetap besar. Menurut seorang teman dari Ambon, sampai saat ini masih sering terjadi konflik-konflik kecil di Ambon yang berpotensi melahirkan konflik berskala besar kembali. Jadi, konflik yang berawal dari adanya prasangka kemudian menghasilkan prasangka pula.

Di Indonesia, agama merupakan isu utama yang paling sensitif dalam menimbulkan konflik, sedangkan urutan kedua adalah etnis. Pada kasus pertikaian terhadap etnis Cina, dan pertikaian etnis di Kalimantan, persoalannya hanyalah persoalan etnisitas. Sedangkan pada kasus Ambon pertikaian yang terjadi dimulai dengan isu etnisitas tetapi kemudian berkembang menjadi isu keagamaan sehingga persoalannya lebih kompleks. Semua kasus diatas dipicu salah satunya oleh prasangka yang kemudian juga melahirkan prasangka. Hubungan prasangka dengan konflik antar etnis seperti lingkaran setan. Prasangka melahirkan konflik antar etnis, dan konflik antar etnis melahirkan prasangka.



Krisis Identitas Etnis Cina di Indonesia

Abstract
The article is made to analysis the mechanism of finding th Indonesian Chinese identity in the scoop of social identity. Up till now, the Indonesian Chinese are still seeking for their identity. Some traumatic event and happening had made th Indonesian Chinese suffered so much. Among others are the 1965 Communist rebellion, the hazardous ethnical harassment in May 1998, the race discrimination, mistreated, antipathy and prejudice from several group. All mentioned above have made the Indonesian Chinese confuse to make a certain choice for their identity.
Key words: social identity
Pendahuluan
Di kalangan orang bukan Cina seringkali terjadi kebingungan untuk menyebut orang Cina dengan sebutan Cina, Tionghoa, Chinese ataukah Cino. Dalam beberapa kesempatan ketika penulis melakukan penelitian terhadap subyek mahasiswa dan siswa SMU etnis Cina, sebagian subyek mengubah kata Cina dalam kuesioner dengan Tionghoa. Budiman (1998) sebagai orang keturunan Cina mengakui bahwa di kalangan orang Cina sendiri ada keinginan kuat untuk mengganti istilah Cina dengan Tionghoa, terutama setelah kejatuhan Soeharto dan Orde Barunya. Istilah Cina sebenarnya merupakan ‘hukuman’ yang diberikan oleh pemerintahan Orde Baru menggantikan sebutan Tionghoa, karena orang-orang Cina di Indonesia dianggap sebagai agen pemerintah Cina yang turut mendukung pemberontakan PKI tahun 1965. Dalam hal ini Budiman bersikap tidak mempersoalkan hal tersebut karena masih banyak masalah lain yang lebih penting. Namun demikian Suryadinata (1999) nampaknya tidak sependapat dengan Budiman di atas. Menurutnya sebutan Tionghoa perlu diperkenalkan kembali untuk menggantikan sebutan Cina yang dirasakan menyakitkan.
Paparan di atas sebenarnya merupakan salah satu indikasi adanya proses pencarian identitas diri yang belum tuntas di kalangan masyarakat etnis Cina di Indonesia. Kalau dibandingkan dengan keadaan orang-orang Cina di beberapa negara tetangga seperti Philipina ataupun Thailand, dimana orang Cina sudah berakulturasi dan menjadi warga pribumi, maka kedudukan etnis Cina di Indonesia nampaknya belum menemukan format yang pas. Masih berlaku istilah pribumi dan non-pribumi untuk membedakan etnis Cina dengan etnis pribumi yang lain. Sementara terhadap etnis pendatang lain seperti Arab, India, istilah non pribumi ini

nampaknya tidak berlaku. Walaupun orang Cina sudah beranak cucu di bumi Indonesia selama ratusan tahun, sampai saat ini masih saja berkembang anggapan orang Cina sebagai perantau, orang yang menumpang hidup dan cari makan di negeri orang. Orang Cina juga menyandang label WNI lengkap dengan berbagai atribusi yang cenderung berkonotasi kurang menyenangkan. Diibaratkan orang Cina hanya diterima di beranda depan rumah dan belum diterima di dalam rumah sebagai keluarga sendiri.
Selama ini selalu saja kebijakan para penguasa, membuat kedudukan etnis minoritas ini selalu tersudut baik itu di era kolonial maupun di era kemerdekaan (Susetyo 2002). Di era Negara Kesatuan Republik Indonesia ini tercatat dua peristiwa yang dirasakan sebagai pukulan yang menyakitkan bagi masyarakat Cina, yaitu peristiwa G30S PKI tahun 1965 dan kerusuhan Mei 1998. Manurut Lan (1998) peristiwa 1965 merupakan trauma paling berat bagi orang Cina di Indonesia. Sementara berdasarkan penelitian yang dilakukan pada era pasca kerusuhan Mei 1998, Bachrun dan Hartanto (2000) menyimpulkan telah terjadi krisis identitas di kalangan orang Cina, karena segala upaya yang telah dilakukan agar bisa diterima sepenuhnya sebagai orang Indonesia telah hancur dalam waktu singkat akibat kerusuhan tersebut. Bagi Suryadinata (1999), seorang pakar Cina yang cukup dikenal, masalah identitas merupakan bagian penting dalam pemecahan ‘masalah cina’ di Indonesia. Namun demikian kapan kepastian itu akan diperoleh ? Apakah ada jaminan bahwa kesewenang-wenangan di masa lalu tidak akan diulangi oleh penguasa-penguasa di masa datang ? Apakah masyarakat sendiri (etnis bukan Cina) bisa memahami persoalan tersebut ?
Ke-Cina-an vs Ke-Indonesia-an
Menurut Lan (1998) pencarian jati diri orang Cina di Indonesia dihadapkan pada beberapa pilihan – menjadi Indonesia, tetap Cina atau mengadopsi identitas lain. Namun demikian nampaknya pilihan-pilihan tidak selalu menempatkan orang Cina pada keadaan yang mudah. Pilihan dengan identitas Indonesia telah difasilitasi pemerintah Orde Baru yang memberlakukan asimilasi inkorporasi (total) bagi orang Cina untuk menghilangkan identitas Cina-nya dan menjadi Indonesia. Namun demikian motivasi pemberlakuan asimilasi inkorporasi nampaknya lebih bernuansa ‘hukuman’ karena sangkaan keterlibatan orang Cina dalam pemberontakan PKI tahun 1965. Pada kenyataannya kebijakan tersebut justru memberikan kontribusi terhadap berbagai kerawanan dan gejolak sosial yang memprihatinkan seperti prasangka, kerusuhan-kekerasan massa dengan sasaran etnis Cina. Kebijakan tersebut juga menyisakan trauma bagi golongan minoritas ini , selain akibat berbagai tindakan kekerasan yang

dialaminya, juga akibat perlakuan diskriminatif yang membelenggu gerak hidup masyarakat Cina ini (Susetyo, 1999) Asimilasi inkorporasi (total) itu sendiri pada kenyaannya telah gagal, sebagaimana asimilasi Melting Pot yang pernah diberlakukan di Amerika. Pada kenyataannya tidaklah mungkin untuk meniadakan akar budaya suatu golongan masyarakat begitu saja.
Memilih mempertahankan identitas sebagai orang Cina juga bukan persoalan yang mudah, karena ke-Cina-an lekat dengan berbagai citra yang kurang menguntungkan di mata etnis pribumi maupun kalangan birokrasi pemerintahan. Hal tersebut dapat dilihat dari berkembangnya stereotip, prasangka dan diskriminasi yang semakin mempertegas citra buruk etnis Cina di mata etnis Indonesia lainnya. Sementara di kalangan aparat, birokrasi pemerintahan, sampai sekarang mereka nampaknya masih menggunakan paradigma lama dengan perlakuan diskriminatif terhadap etnis Cina misalnya dalam hal status kependudukan ataupun status kewarganegaraan.
Di kalangan internal masyarakat Cina sendiri juga sedang terjadi pergeseran dalam memaknai arti identitas Cina itu sendiri dalam format yang berubah. Menurut Lan (1998) pergeseran tersebut dari ke-Cina-an yang tradisionil dan berorientasi etnis dan negeri leluhur menjadi ke-Cina-an yang modern dan berorientasi nasional dan lokal (dalam hal ini Indonesia). Pergeseran ini nampaknya juga terkait dengan upaya meninggalkan trauma masa lalu, dimana identitas Cina yang berorientasi pada budaya negeri leluhur tidak jarang terjebak pada persoalan-persoalan yang bernuansa politik, misalnya ketika hubungan antara Indonesia dengan RRC memburuk.
Keberadaan etnis Cina sebagai etnis minoritas juga sering kurang menguntungkan dalam konteks relasi minoritas – mayoritas. Etnis minoritas selalu menjadi sasaran prasangka dan diskriminasi dari kalangan mayoritas. Beberapa kali etnis Cina menjadi sasaran pengganti (displacement), kambing hitam bagi rakyat yang frustrasi di era pemerintahan Orde Baru yang represif dalam bentuk kerusuhan anti Cina yang sempat marak. Kedudukan sebagai minoritas bagaimanapun selalu rawan, baik itu dalam posisi sebagai minoritas yang lemah maupun minoritas yang kuat.
Jika dilihat dari format negara Indonesia yang indigeneus nation (negara suku) maka sudah selayaknya format yang pas adalah menempatkan etnis Cina sama kedudukannya dengan suku-suku lainnya (Suryadinata, 1999). Di jaman Orde Lama, Bung Karno pernah memunculkan ide bahwa orang Cina adalah salah satu suku di Indonesia yang setara dengan suku Jawa, Sunda, Minang, Batak dan sebagainya. Dengan demikian orang Cina telah menjadi orang Indonesia sejati tanpa asimilasi total. Namun akibat meletusnya pemberontakan G30S PKI ide tersebut kandas untuk diwujudkan ( Suryadinata, 1993). Bahkan di era Orde Baru orang Cina harus melakukan

asimilasi total dengan meleburkan identitas etnisnya ke dalam identitas etnis Indonesia (Susetyo, 2002). Namun demikian konsep tentang identitas Indonesia sendiri menurut Lan (1999) juga belum jelas. Apakah sosok Rudy Hartono, Kwik Kian Gie dan orang Cina lainnya yang telah mengharumkan nama bangsa sebagai model bagi identitas Indonesia tersebut ?
Karena berbagai tekanan dan ketidakpastian tersebut, maka orang Cina berada di persimpangan jalan. Hal tersebut setidaknya tergambarkan dari temuan penelitian dari Lan (1998) yang menunjukkan bahwa sekarang ini berkembang berbagai orientasi identifikasi diri di kalangan orang Cina di Indonesia. Setidaknya ada 4 orientasi yang ditemukan,
Kelompok pertama, adalah mereka yang percaya bahwa mereka adalah etnis Cina dan akan selalu menjadi etnis Cina. Oleh karena itu dalam mengidentifikasikan diri, mereka selalu kembali ke asal usul dan warisan budaya etnis Cina.
Kelompok kedua, adalah mereka yang merasa telah berhasil berasimilasi ke dalam masyarakat Indonesia. Mereka ini adalah orang-orang yang merasa asal usul etnis dan budaya mereka merupakan kutukan yang menyulitkan posisi mereka untuk menjadi bagian yang utuh dari masyarakat dimana mereka tinggal.
Kelompok ketiga, adalah mereka yang berkeyakinan bahwa mereka telah melampaui batas etnis, negara dan bangsa serta telah menjadi seorang yang globalis dan internasionalis.
Kelompok keempat, adalah mereka yang cenderung beranggapan bahwa hidup mereka ditentukan oleh pekerjaan mereka, sehingga mereka lebih suka menghindari pengidentifikasian diri secara budaya maupun politis.
Demikian pula dari temuan dari Tan (1998) yang meneliti tentang aspirasi dan partisipasi politik orang Cina, ternyata terpilah-pilah menjadi lima kelompok cara pandang, yaitu :
Kelompok pertama adalah yang merasa perlu menonjolkan identitas etnis mereka dan memperjuangkan hak mereka sebagai golongan, misalnya dengan mendirikan Partai Tionghoa.
Kelompok kedua adalah mereka yang tidak mau menjadikan etnis atau agama sebagai basis gerakan, melainkan melalu platform persamaan hak, misalnya dengan mendirikan Partai Bhineka Tunggal Ika
Kelompok ketiga adalah kelompok yang lebih menyukai sebuah forum yang tujuan utamanya lebih sebagai pressure group.
Kelompok keempat adalah mereka yang membentuk paguyuban kelompok karena perasaan senasib sepenanggunan. Misalnya dengan mendirikan Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia.
Kelompok kelima adalah mereka yang bergabung dalam partai politik yang terbuka seperti PDI Perjuangan, PAN dan lain sebagainya.

Dari paparan di atas kiranya dapat diperoleh gambaran tentang bagaimana dinamika pencarian identitas etnis Cina di Indonesia. Pada kenyataannya di tengah masyarakat etnis Cina telah berkembang subkultur-subkultur baru yang merupakan respon terhadap realitas sosial yang berkembang dan semakin menggambarkan identitas etnis Cina yang plural.
Identitas Etnis Dalam Persektif Teori Identitas Sosial
Identitas individu dalam interaksi sosial merupakan hal yang fundamental dalam setiap interaksi sosial. Pertanyaan ‘Siapakah Anda ?’, sebenarnya selalu tertuju pada upaya mengungkap identitas seseorang dan selanjutnya menentukan bentuk interaksi sosialnya. Lan (2000) mengatakan bahwa setiap individu memerlukan identitas untuk memberinya sense of belonging dan eksistensi sosial. Menurut teori identitas sosial (dalam Taylor dan Moghaddam, 1994) identitas individu yang tampil dalam setiap interaksi sosial disebut dengan identitas sosial, yaitu bagian dari konsep diri individu yang terbentuk karena kesadaran individu sebagai anggota suatu kelompok sosial, dimana didalamnya mencakup nilai-nilai dan emosi-emosi penting yang melekat dalam diri individu sebagai anggotanya.
Menurut Hogg dan Abram (1988) di dalam masyarakat sendiri secara hirarkis terstruktur kategori-kategori sosial yang merupakan penggolongan orang menurut negara, ras, klas sosial, pekerjaan, jenis kelamin, etnis, agama dan lain sebagainya. Di dalam masing-masing kategori sosial tersebut melekat suatu kekuatan, status dan martabat yang pada akhirnya memunculkan suatu struktur sosial yang khas dalam masyarakat, yaitu suatu struktur yang menentukan kekuatan dan status hubungan antarindividu dan antarkelompok.
Pada dasarnya setiap individu ingin memiliki identitas sosial yang positif. Hal tersebut menurut Hogg dan Abram (1988) rangka mendapatkan pengakuan (recognition) dari pihak lain dan persamaan sosial (social equality). Bahkan menurut Laker (dalam Taylor dan Moghaddam, 1994) dalam keadaan dimana individu ataupun kelompok merasa identitasnya sebagai anggota suatu kelompok kurang berharga maka akan muncul fenomena misidentification, yaitu upaya mengidentifikasi pada identitas / kelompok lain yang dipandang lebih baik. Fenomena ini misalnya ditemukan pada anak-anak kulit hitam di Amerika yang justru menganggap rendah kelompoknya sendiri dan lebih senang mengidentifikasi pada kelompok kulit putih.
Dalam pandangan teori identitas sosial, keinginan untuk memiliki identitas sosial yang positif dipandang sebagai motor psikologik penting dibalik tindakan-tindakan individu dalam setiap interaksi sosial. Hal tersebut berlangsung melalui proses social comparison yang dipandang sebagai cara untuk menentukan posisi dan status identitas sosialnya (Taylor dan

Moghaddam, 1994). Proses social comparison merupakan serangkaian pembandingan dengan orang / kelompok lain yang secara subyektif membantu individu membuat penilaian khusus tentang identitas sosialnya dibanding identitas sosial yang lain (Hogg dan Abram, 1988)
Selalu ada upaya-upaya untuk mempertahankan identitas sosial yang positif dan memperbaiki citra jika ternyata identitas sosialnya sedang terpuruk baik dalam skala individual maupun skala kelompok. Dalam konteks makro sosial (kelompok, masyarakat) maka upaya mencapai identitas sosial positif dicapai melalui 1) mobilitas sosial dan 2) perubahan sosial. Mobilitas sosial adalah perpindahan invidividu dari kelompok yang lebih rendah ke kelompok yang lebih tinggi. Mobilitas sosial hanya mungkin terjadi jika peluang untuk berpindah itu cukup terbuka. Namun demikian jika peluang untuk mobilitas sosial tidak ada, maka kelompok bawah akan berusaha meningkatkan status sosialnya sebagai kelompok. Pilihan pertama adalah dengan menggeser statusnya ke tingkat lebih atas. Kalau kemungkinan menggeser ke posisi lebih atas tidak ada, maka usaha yang dilakukan adalah dengan meningkatkan citra mengenai kelompok agar kesannya tidak terlalu jelek. (Hogg dan Abram, 1988; Sarwono, 1999)
Dinamika Pencarian Identitas Etnis Cina Dalam Persektif Teori Identitas Sosial
Dinamika pencarian identitas etnis Cina sebenarnya terkait perlakuan yang diterima dari pihak penguasa. Dalam Sarwono (1999), dan Susetyo (2002) dikemukakan bahwa pada jaman pemerintahan kolonial Belanda, perbedaan status etnis diberlakukan dengan tegas. Orang Eropa diberi status tertinggi dan mempunyai hak dan fasilitas terbaik. Orang Cina yang waktu itu disebut orang Timur Asing (vreemde osterlingen) mempunyai status di bawah orang Eropa dan golongan pribumi (inlander) diberi status yang paling rendah (kecuali bangsawan yang diberi status seperti Eropa).
Dalam statusnya yang di tengah ini, orang Cina meningkatkan citranya dengan melakukan mobilitas sosial, yaitu mengadopsi berbagai identitas yang melekat pada orang Eropa ataupun Belanda. Banyak orang Cina yang berpendidikan ala Eropa, cara mereka berpakaian juga ala Eropa, mereka juga mengadopsi agama Kristen dan Katolik seperti orang Eropa disamping keyakinan yang mereka bawa dari tanah leluhurnya, dan lain sebagainya. Amat jarang orang Cina yang mengidentifikasi dengan identitas pribumi, karena status pribumi yang lebih rendah. Interaksi dengan orang pribumi nampaknya lebih untuk kepentingan dagang dan kepentingan lain yang bisa menguntungkan. Dalam hal tertentu orang pribumi malah terangkat derajatnya, misalnya ketika ada perempuan pribumi yang dinikahi orang Cina. Dengan demikian, yang

menonjol pada orang Cina di era kolonial Belanda adalah perpaduan antara identitas Cina tradisionil dan identitas ala Eropa.
Namun demikian situasinya nampak berbeda sama sekali ketika memasuki era kemerdekaan. Persoalan yang mengedepan terutama adalah tentang kepastian status kewarganegaraan. Dikemukakan oleh Coppel (1994) orang Cina pada masa itu terjepit antara berbagai kepentingan baik yang berskala nasional maupun internasional. Pemerintah Indonesia pada waktu itu tidak bisa segera memberikan kepastian. Bahkan undang-undang yang mengatur hal ini ditengarai akan membatasi jumlah orang Cina yang bisa menjadi warganegara. Sementara pemerintah RRC pada waktu itu masih memberlakukan kewarganegaraan ganda bagi orang Cina di perantauan, yaitu disamping menjadi warganegara di negara tempat merantau juga melekat kewarganegaraan Cina. Sebagai reaksi terhadap keadaan tersebut maka sejumlah tokoh Cina mendirikan Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia) yang inti perjuangannya ingin menempatkan etnis Cina sejajar dengan etnis/suku lain dengan konsep integrasi. Sementara kelompok Cina yang lain menghendaki asimilasi sebagai solusi.
Namun demikian sejak terjadinya peristiwa pemberontakan PKI 1965, keadaannya berbalik sama sekali. Konsep integrasi secara politis telah dikategorikan sebagai bagian dari ideologi komunis sosialis (Lan, 1998). Dengan demikian pilihan satu satunya yang diberi ruang oleh penguasa adalah dengan asimilasi. Sebenarnya disinilah akar permasalahannya mengapa pencarian identitas etnis Cina menjadi sedemikian rumit.
Pasca peristiwa 1965 status etnis Cina sedang dalam kondisi terendah. Mereka dipojokkan oleh penguasa maupun masyarakat bukan Cina. Pada saat itu berbagai kekerasan massa anti Cina mulai marak. Mengacu pada teori identitas sosial, maka ketika suatu kelompok citranya sedang terpuruk selalu ada upaya untuk bereaksi terhadap keadaan ini dalam rangka meraih kembali citra / identitas sosial yang positif. Adapun modus yang biasa terjadi adalah dengan mobilitas sosial dan perubahan sosial.
Bentuk-bentuk mobilitas sosial yang dilakukan nampaknya cukup bervariasi tergantung dari persepsi masing-masing kelompok tentang bagaimana harus memperbaiki citra. Salah satu reaksi yang muncul adalah dengan eksodus ke luar negeri seperti ke Belanda, kembali ke RRC dan sebagainya. Sementara kelompok asimilasi nampaknya mendapat angin, salah satu tokohnya Junus Jahja mendorong orang Cina untuk memeluk agama Islam sebagai kunci pembauran total. Dalam penelitian yang dilakukannya terhadap subyek mahasiswa dan siswa SMU etnis Cina di Semarang, Susetyo (2002) menemukan bahwa ada kecenderungan subyek untuk mengadopsi sifat-sifat positif dari etnis Jawa sebagai identitas sosialnya. Hal ini nampak menjadi salah satu solusi dalam pencarian identitas ini. Pada akhirnya kita akan menemukan identitas Cina yang

Jawa, Cina yang Batak, Cina yang Padang, Cina yang Sunda dan sebagainya. Namun demikian ketika mereka tidak dapat menemukan hal-hal yang mendukung perbaikan citra dirinya sebagaimana hal di atas, banyak juga yang akhirnya pindah keluar negeri menjadi kelompok yang beridentitas kosmopolitas, internasional, lintas etnis maupun lintas negara. Dinamika tersebut nampaknya dapat tergambarkan dari penelitian dari Lan (1998) tentang orientasi identifikasi diri ataupun dari Tan (1998) tentang aspirasi politik di atas.
Selain melalui mobilitas sosial, nampaknya juga ada kecenderungan melakukan perubahan sosial, yaitu dengan memperbaiki citra dari ke-Cina-an. Salah satunya adalah dengan menggeser orientasi ke-Cina-an dari yang berorientasi tradisionil menjadi ke-Cina-an yang berorientasi nasional. Barangkali kecenderungan ini lebih banyak berkembang di kalangan generasi yang lebih muda, dimana mereka sudah begitu menguasai lagi adat istiadat Cina tradisionil, tidak bisa berbicara dalam bahasa mandarin, memiliki pendidikan yang modern. Dengan demikian ke-Cina-an sekarang tampil dalam kemasan dan citra baru yang lebih bisa diterima dan tidak lagi berasosiasi dengan masa lalu yang traumatis.
Kesimpulan
Apa yang bisa disimpulkan dari paparan di atas, bahwa krisis identitas yang terjadi di kalangan etnis Cina di Indonesia sangat terkait dengan nuansa kebijakan politik penguasa, dimana mereka memiliki kepentingan tertentu untuk menempatkan etnis Cina sesuai dengan kemauan politiknya. Posisi minoritas yang cenderung rentan, selalu memojokkan etnis Cina dari waktu ke waktu. Krisis identitas etnis Cina terutama memuncak pasca pemberontakan G30S PKI yang menempatkan status etnis Cina dalam tataran terburuk. Dalam upaya menemukan kembali citra identitas sosial yang positif, etnis Cina menggunakan modus yang variatif baik dalam bentuk mobilitas sosial maupun dengan perubahan sosial.